Nestapa Dewo

Keefe R.D
Chapter #5

Bab 4. Demi Waktu

Hari Senin pagi, Mbok Karsiyem meminta izin pulang ke desanya. Samara baru teringat lagi saat si mbok berpamitan. Ada hajatan tetangga yang harus dihadiri oleh si mbok.

Saat itu Samara bertengger di ambang pintu kamar si Mbok. Sambil menemani si mbok beres-beres bajunya ke tas, ia mengajaknya berbicara, “Mbok, kemarin aku ketemu sama Bu Djenar.”

“Pripun kabare beliau?” tanya si Mbok sambil melipat baju-bajunya.

“Alhamdullilah baik, Mbok,” ujar Samara. “Aku banyak ngobrol sama beliau mengenai hal yang akhir-akhir ini terjadi.”

“Mesti perkara gaib, toh?” sindir si Mbok, terkekeh. “Atau perkara keresahan Ndoro terhadap peristiwa malam itu?”

“Dua-duanya sih, Mbok,” ujar Samara, sesekali menggigit bibir bawahnya.

“Kan si Mbok sudah pernah bilang. Ndak perlu cemas berlebihan. Malah bikin sakit kepala sendiri, Ndoro,” enteng saja si mbok mengatakannya. “Biarkan yang berlalu, ya berlalu. Sekarang Ndoro mesti fokus sama yang ada di depan mata saja.”

Samara menghela nafas panjang. Lalu bergumam, “Tapi…”

“Jadikan apa pun yang terjadi kemarin sebagai pelajaran hidup,” tambah si Mbok.

“Aku ngerti, Mbok. Tapi tetap saja, kan aku yang ngejalanin peristiwa itu. Buat aku, masih enggak mudah buat melupakannya begitu saja,” pungkas Samara.

“Sopo sing ngomong suruh melupakan, toh?” ujar si Mbok, terkekeh bak ada yang lucu. “Maksud si Mbok; demi waktu kan Ndoro banyak belajar tentang kehidupan. Salah satunya ya menghadapi saudara-saudaranya mendiang Gusti Laras itu.”

“Kalau perkara itu sih, aku juga ngerti harus berhati-hati, Mbok,” ucapnya.

“Syukur kalau Ndoro sadar,” celetuk si Mbok, terkekeh lagi.

Samara lanjut memberitahunya, “Enggak cuma sekedar ngobrol, aku kemarin dikasih sesuatu sama Bu Djenar.”

“Dikasih apa, Ndoro?” tanya si Mbok.

“Kunci,” jawabnya, singkat.

Kali ini si Mbok meliriknya dan bertanya lagi, “Kunci menopo, nggih?”[1]

Samara menyuruhnya menunggu sebentar. Ia berlari ke kamarnya, mengambil kunci itu dari dalam tasnya. Lalu ia kembali ke kamar si Mbok untuk memperlihatkannya.

“Katanya Bu Djenar, ini kunci pintu Nestapa Dewo. Apa Mbok pernah dengar nama tempat itu?” tanya Samara.

Si Mbok mengernyit saat memandangi kunci digenggamannya.

“Nestapa Dewo, nggih?” gumam si Mbok. “Jaman si Mbok masih sering di keraton, pernah dengar ada yang nyebut-nyebut nama itu.”

Samara tersenyum, berharap bisa mendapatkan jawabannya. “Jadi apa, Mbok?”

Si Mbok menggaruk-garuk cepol berubannya sejenak. Raut wajahnya malah kelihatan kebingungan sendiri.

Samara yang memperhatikannya jadi heran. “Kenapa, Mbok?”

“Duh, saking sudah lama banget, si Mbok ndak terlalu ingat sih. Tapi pernah dengar selentingan dari beberapa sentono di sana. Katanya itu tempat buat nyimpen peninggalan berharganya para leluhur sakti di tanah Jawa.”

“Jadi lokasinya di mana?” tanya Samara, memburunya.

Si Mbok malah menatapnya kaget. “Loh, memangnya Ndoro Djenar enggak ngasih tahu toh tempatnya di mana? Cuma ngasih kuncinya, tok?”

“Ngasih tahu sih, tapi enggak jelas. Cuman ngomong kalau tempatnya bukan di alam kita,” tutur Samara. “Masa’ ada kunci fisiknya, tapi tempatnya malah enggak kasat mata, ya?”

“Kalau orang jaman dulu, omongan begitu dijadikan kisah untuk menyembunyikan harta karun. Makanya njelimet kalau ada yang mau cari jejak lokasi yang sebenarnya,” ujar si Mbok.

Lihat selengkapnya