Nestapa Dewo

Keefe R.D
Chapter #7

Bab 6. Perbincangan Tamu

Samara mendapat panggilan telepon dari nomer yang tak dikenal. Ia terkejut mendapati panggilan tersebut berasal dari budenya sendiri. Baru sekali ia bertatap wajah dengan Gusti Galuhrati. Sewaktu bertamu di rumah, Gusti Kartowiryo yang memperkenalkan padanya. Sudah pasti beliau mendapat nomer kontaknya dari pakdenya itu.

Pagi itu, Samara diundang datang ke rumah beliau. Awalnya ia merasa enggan. Ia paling malas bersosialisasi. Apalagi dengan orang yang belum benar-benar dikenalnya.

Ketika menimbang-nimbang dalam hati, Samara lalu berubah pikiran. Entah ada dorongan apa dalam dirinya, ia jadi penasaran di mana rumah budenya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi alamatnya.

Setibanya, ia membayar ongkos taksi. Samara berhenti sejenak, memandangi rumah satu tingkat di hadapannya. Rumah itu bak hutan yang dipenuhi tanaman hijau. Halamannya sangat luas. Temboknya dibata merah klasik.

Kompleknya amat sepi. Tak ada orang berlalu-lalang di sekitar sini. Sekali lagi Samara mengecek alamat yang diberikan padanya.

Saat itulah, suara perempuan muda menyapanya dari balik pagar rumah, “Nyonya Samara, ya?!”

Seorang perempuan berpakaian sederhana sedang tersenyum ke arahnya. Samara mendekatinya dan mengangguk, “Iya. Ini rumahnya Bude Galuhrati?”

“Leres! Monggo, masuk…”[1] ujar perempuan itu seraya membukakan pagar untuknya.

Sambil diantar masuk ke teras depan, perempuan itu memperkenalkan diri, “Saya Marni, asisten rumah tangga di sini. Nyonya mau minum, apa?”

Samara langsung menggeleng dan tersenyum. “Enggak usah repot-repot. Saya cuma sebentar kok di sini.”

Dari awal bertemu, perempuan kurus berkulit sawo matang ini terus memberikannya senyuman hangat. “Tunggu di sini dulu, nggih. Saya kabari Ndoro Galuh.”

Setelah Marni masuk rumah, Samara lanjut berjalan-jalan sendiri. Ia memandangi pekarangan sekitarnya yang dipenuhi pot-pot tanaman dengan berbagai ukuran. Konsep jungalow membuat hunian ini bak berada di tengah hutan rimba.

Ia berjalan mengikuti beberapa sangkar burung yang diletakkan mengitari pekarangan. Semua bentuknya prisma dan berwarna putih. Dihuni burung-burung cantik yang berkicauan.

Tiba-tiba ada yang menyapanya dari belakang, “Sudah datang rupanya.”

Tak terasa ia sudah memasuki area pekarangan belakang rumah. Sampai tak sadar ada yang duduk di kursi teras.

Sejenak Samara memperhatikannya. Wanita berkebaya itu tengah merokok santai. Dibalik keanggunannya, gaya beliau terkesan angkuh. Apakah ini orang yang sama menemuinya waktu itu?

“Bude Galuh?” gumamnya, mengernyit.

Beliau mematikan puntung rokok di asbak meja. Lalu beranjak untuk menyapanya lebih dekat, “Sugeng rawuh, Nduk. Senang bisa kedatangan tamu istimewa hari ini.”[2]

Samara tersenyum datar saja.

“Ngomong-ngomong, ngapunten ya, Nduk,” ujar Bude Galuh.

Samara mengernyit heran; mengapa beliau meminta maaf? Ia hanya terdiam, menunggu beliau menyelesaikan ucapannya.

“Bude dan Mas Karto ndak bisa bertamu lama-lama di rumahmu. Hari itu kita ada urusan di keraton,” lanjut beliau. “Tapi Bude masih ingin kenalan lebih jauh sama kamu. Makanya Bude ngundang kamu main ke sini.”

Samara tersenyum simpul. “Enggak apa-apa. Enggak jadi masalah buat saya.”

Beliau memperhatikannya sejenak. Sambil mengambil batang rokok baru, beliau berkata, “Kamu memang anaknya begini, toh?

Samara mengernyit heran lagi padanya.

“Jadi orang yang ramah kan ndak merugikanmu, toh?” sindir beliau. “Atau kamu ini memang kaku orangnya? Mesti jarang ketemu sama orang, toh?”

Tebakan beliau memang benar adanya. Samara memang bukan tipe orang yang suka basa-basi. Lagi pula, masih ada sisa-sisa trauma sejak peristiwa na’as malam itu. Rasanya ia belum siap—atau bahkan tak ingin lagi bertemu muka dengan saudara-saudara ibunya.

Tapi mungkin tak ada salahnya sekedar penasaran dengan tempat tinggal beliau. Sambil melihat-lihat pekarangan belakang, Samara bertanya, “Aku dengar, Bude tinggalnya di Jakarta. Apa ini rumah Bude juga?”

“Leres, ini rumah kedua Bude. Tapi lebih seringnya tinggal di Jakarta karena urusan pekerjaan,” ungkapnya. “Bude kan spesialisnya batik-membatik. Banyak penjual dari kota yang ingin borong langsung dari Bude.”

Seperti yang pernah dikatakan mendiang ibunya. Keluarga Kusuma Wijaya memang sudah turun temurun menggeluti dunia batik.

“Kalau kamu kesibukannya apa sih sekarang?” tanyanya, mulai menginterogasi. “Dari kelihatannya, enggak mungkin kerja kantoran, yo? Apa sudah punya pacar? Kapan mau nikah? Umurmu kan sudah pantas buat ni—”

Samara menyahut tegas, “Kalau sudah waktunya kan nanti Bude tahu. Soal pekerjaan, saya tinggal nerusin usaha punya mendiang Ibu saya di Sendang Laras.”

Beliau seketika terdiam. Jelas sekali Samara menjaga jarak dengan perempuan berkonde itu. Ia merasa risih dengan cara beliau bertanya begitu.

Lihat selengkapnya