Nestapa Dewo

Keefe R.D
Chapter #10

Bab 9. Penjelajahan Hutan

Sabtu paginya, Samara dan Nathan bertemu Doni di stasiun kereta api. Mereka bersiap berangkat meninggalkan tanah Surakarta. Ketiganya bakal menghabiskan waktu yang cukup lama. Banyuwangi bakal jadi tempat tujuan mereka berpetualang.

“Nat, loe yakin dia enggak kenapa-kenapa?” bisik Doni, sesekali mencuri pandang ke gadis pucat yang duduk di seberangnya.

Nathan mengikuti arah lirikan matanya. Ia kembali membalikkan halaman buku yang dibacanya. Lalu bergumam, “Tenang saja.”

“Gue enggak enak saja kalau nanti sampai terjadi apa-apa sama dia. Kata loe kan dia sempat sakit kemarin,” ujar Doni, agak khawatir.

Nathan diam-diam sudah memberitahunya saat awal duduk bersebelahan di kursi kereta. Kini ia menghela nafas seraya menjelaskan lagi, “Makanya, nanti kita harus sering berhenti buat istirahat. Supaya Samara enggak kelelahan.”

“Loe gila kali, ya? Sudah jelas penjelajahan masuk ke hutan. Belum lagi balik pulangnya. Perjalanan jauh begitu, sudah pasti bakal melelahkan lah,” protes Doni.

Nathan menatapnya pasrah. “Mau gimana lagi? Sam yang maksa buat pergi hari ini.”

“Kalau kalian sebenarnya enggak siap, ngapain maksain sih? Heran gue,” gerutu Doni.

Samara menyadari tatapan diam-diam mereka ke arahnya. Seketika Nathan memberikan senyuman canggung. Sedangkan Doni membuang muka seraya menatap jendela bus di sampingnya.

Entah apa pun yang mereka bicarakan diam-diam, Samara membalas dengan menghela nafas. Bagai ia ingin membuang beban pikiran, terutama hal-hal aneh yang belakangan ini terjadi pada dirinya.

Setibanya di Jawa Timur, mereka melanjutkan perjalanan dengan bus. Mereka langsung berkunjung ke Alas Baluran yang berlokasi di daerah Banyuwangi.

Sekali lagi Nathan mengingatkan, “Don, inget ya, nanti kita harus banyak berhenti di tempat per—”

Samara yang duduk sendirian di seberang kursi mereka, kali ini mendengarnya. Ia langsung memberikan tatapan tajam ke sahabatnya itu. Mengingat kondisi kesehatan Samara lusa kemarin, Nathan jadi menggigit bibirnya dengan cemas.

“Aku enggak masalah kok buat jalan jauh,” sahut Samara.

Doni terkekeh pada Nathan. “Nah, loe dengar, kan? Semoga saja dia kuat.”

Nathan ingin protes, “Tapi Don—”

Doni langsung menepuk-nepuk bahunya. Ia menenangkannya sekaligus menertawai sikapnya yang terlalu gelisah.

***

Siangnya, mereka tiba di Alas Baluran. Penjual dan pengunjung meramaikan halaman depan. Suasana segar menyambut kedatang ketiganya di gerbang hutan. Setelah membeli minuman tambahan untuk bekal perjalanan, mereka bersiap memulai penelusuran.

              Pepohonan di kawasan Baluran memang berbeda dari pohon hutan lainnya. Warnanya yang nyaris kuning gersang membuat tempat ini dijuluki hutan dari Afrika. Walau begitu, masih ada bagian yang ditumbuhi tanaman hijau segar.

Semakin mereka memasuki hutan, semakin tak terlihat ada yang berlalu-lalang. Ketiganya hanya ditemani burung-burung yang berterbangan. Perjalanan terasa sunyi.

Nathan jadi orang pertama yang memulai percakapan. Sambil berjalan di antara mereka, ia berkata, “Jadi berasa nostalgia enggak sih?”

“Nostalgia?” gumam Samara, bingung.

Doni hanya sekilas menengok ke arahnya. Lalu tak menggubris.

Nathan lanjut berceloteh riang, “Iya, nostalgia pas penjelajahan ke hutan begini. Bedanya waktu itu kita bareng Renata. Sebelum kenal sama kamu, Sam.”

Tiba-tiba Doni berhenti berjalan, membuat keduanya heran. Ia berbalik badan, menghadapi laki-laki yang bertubuh lebih pendek darinya itu. “Eh, bisa enggak sih loe… enggak usah bawa-bawa nama Renata? Dia sudah lama meninggal, by the way.”

“Sorry… gue cuma kangen saja sama kebersamaan kita waktu itu,” ujar Nathan.

“Kebersamaan?” gumam Doni. Lalu terkekeh sinis. “Enggak perlu bawa-bawa masa lalu. Apalagi penelusuran waktu itu enggak banget deh.”

Nathan tertegun mendengarnya. Ia jadi teringat; kisah perjalanan mereka di Kalimantan bisa dibilang penuh lika-liku yang mencekam. Bukan maksudnya ingin mengingat-ingat hal buruk, namun ia hanya merindukan mendiang sahabat baiknya itu.

“Asal loe tahu ya. Gue setuju buat penjelajahan hari ini karena Samara,” tambah Doni.

“Baper banget sih loe. Gitu saja marah,” sindir Nathan, langsung cemberut.

Doni lalu menggertaknya, “Loe saja yang sikapnya kekanakan. Dari tadi sudah kayak bocah ingusan mau hilang di hutan.”

“Shush! Pamali ngomong begitu di tempat begini,” sahut Samara, menasihati.

“Tuh, dengerin!” seru Nathan, senang mendapati Samara membelanya.

“Maaf,” ucap Doni. Lalu melirik kesal ke Nathan. “Gue bawaannya emosi kalau ngomong sama nih anak.”

Sepoi angin berdesir lembut. Suara burung-burung berkicau di udara. Mereka mengheningkan cipta saat memandangi suasana alam di sini.

“Jadi lanjutin perjalanan enggak? Kok pada malah bengong?” ujar Doni, mencairkan lamunan mereka. Lalu ia melirik ke laki-laki berponi di belakangnya dan menyindir, “Kesambet nanti loe, Nat.”

Nathan seketika mengernyit sebal. “Eh, apaan sih! Amit-amit!”

Perjalanan pun berlanjut. Ketiganya menelusuri jalanan hutan dengan hati-hati.

Sesekali Samara berhenti berjalan, menatap jauh ke pemandangan alam. Tatapan tajamnya seolah sedang melihat sesuatu yang mengejutkannya. Semakin memasuki jalur hutan, semakin ia tertegun. Bagai ada sesuatu yang kasat mata terlihat olehnya.

Doni mulai mencermati keanehannya. Terkadang ia jadi ngeri dengan sikap misterius gadis berambut panjang gelap itu.

Mendapati Samara terhenti lagi, Doni berbisik, “Nat, creepy banget sih sepupu loh. Cantik sih, tapi…”

Nathan mengikuti pandangannya ke arah Samara yang sedang tertegun. Dengan santainya, ia menjawab, “Dia memang begitu orangnya. Biarin saja.”

“Dia ngeliat apaan sih dari tadi?” tanya Doni, penasaran.

Lihat selengkapnya