Andra duduk termenung di teras rumahnya, memandangi halaman kecil yang sudah jarang ia rawat. Angin sore mengacak-acak rambutnya yang mulai dipenuhi uban halus di sisi pelipis. Usianya baru menginjak tiga puluh tujuh tahun, tapi dia merasa seperti pria tua yang kehilangan gairah hidup.
Sudah tujuh tahun dia menikah dengan Dira, wanita yang selama ini dia cintai dan dia yakini sebagai rumah terbaiknya. Mereka memiliki dua orang anak yang sedang aktif-aktifnya. Aira, lima tahun, dan Arvan, dua tahun. Rumah ini dulu penuh dengan tawa, hangat, dan terasa seperti surga. Namun entah sejak kapan, semuanya berubah.
Hubungan mereka hambar. Dira kini lebih sering sibuk dengan rutinitas sebagai ibu. Pagi menyiapkan sarapan, lalu beres-beres rumah, mengurus anak-anak, dan malam harinya sudah terlelap kelelahan. Andra tahu, Dira melakukan semuanya untuk keluarga, tapi tanpa mereka sadari, waktu mereka sebagai pasangan suami istri semakin terkikis habis.
Andra sering merasa sendiri. Ada kekosongan yang tak bisa dia jelaskan. Sesekali dia mencoba mengajak Dira mengobrol, mengajaknya keluar, menghidupkan kembali romansa yang dulu, tapi Dira selalu punya jawaban, “Nanti ya, tunggu anak-anak agak besar.”Nanti” itu terasa semakin lama.
Sampai sore itu, Andra bertemu dengan dia.Pertemuan itu tak disengaja. Saat Andra menjemput Aira di sekolah taman kanak-kanak, seorang perempuan berambut panjang dan berkacamata tersenyum ramah padanya. Ia baru pertama kali melihat wanita itu.
“Pak Andra ya? Ayahnya Aira?” tanyanya sambil menuntun seorang bocah laki-laki kecil.
Andra mengangguk. “Iya. Maaf, kita pernah ketemu sebelumnya?”
Wanita itu tertawa kecil. “Saya Wina. Anak saya, Keanu, satu kelas sama Aira. Saya baru pindahan ke komplek sebelah.
Wina. Nama itu entah kenapa menancap dalam kepala Andra begitu cepat. Mungkin karena senyumnya. Mungkin karena suaranya yang lembut. Atau mungkin karena Andra memang sudah terlalu lama tidak diperhatikan oleh seorang perempuan.
Percakapan itu berakhir singkat, tapi setelahnya, Andra mulai memperhatikan Wina. Hampir setiap hari mereka bertemu di sekolah anak. Saling menyapa, saling menunggu, kadang tanpa sengaja berbarengan menjemput. Dan tanpa sadar, Andra mulai menanti-nanti waktu itu.
Ada rasa yang kembali tumbuh. Bukan cinta, mungkin. Tapi ada semacam getaran asing yang sudah lama dia lupakan. Getaran yang membuatnya menunggu notifikasi WhatsApp dari Wina, sekadar bertukar cerita tentang anak-anak, tentang cuaca, tentang hal-hal sepele yang terasa penting bagi Andra.