Andra semakin sering menghabiskan waktu di luar rumah. Alasannya selalu sederhana, pekerjaan lembur, rapat, bahkan sekadar ingin menghirup udara segar. Tapi sebenarnya, dia hanya butuh ruang. Ruang untuk tidak merasa terikat, ruang untuk menjadi dirinya sendiri tanpa dihantui beban sebagai suami yang sempurna.
Wina sering menjadi tempat Andra bercerita. Obrolan mereka kini tak lagi sekadar tentang anak-anak, tapi mulai menyentuh hal-hal pribadi. Tentang mimpi, tentang masa lalu, bahkan tentang kesepian yang tak pernah dia akui sebelumnya.
Suatu sore di sebuah kafe kecil dekat taman kota, mereka bertemu seperti biasa. Sore itu hujan turun pelan, dan Andra tiba lebih dulu. Wina datang dengan senyum yang sudah begitu akrab di matanya.
“Kamu kenapa kelihatan lelah banget hari ini?” tanya Wina sambil duduk di hadapannya.
Andra menghela napas panjang. “Kadang aku nggak tahu ya, Win. Aku ini lagi capek sama kerjaan, atau sama hidup.”
Wina tersenyum kecil. “Kamu capek jadi Andra yang kuat terus.”
Kalimat itu seperti menamparnya. Hanya Wina yang melihat sisi itu. Dira, entah sejak kapan, tak pernah lagi bertanya apakah Andra baik-baik saja. Istrinya selalu sibuk dengan urusan rumah, dengan anak-anak yang memang membutuhkan perhatian. Andra mengerti itu. Dia paham. Tapi memahami sesuatu tidak selalu membuatnya bahagia.
“Kamu tahu nggak, aku kadang iri sama kamu.” Suara Wina lembut, matanya menatap gelas kopi yang mulai mendingin.
“Iri? Kenapa?”
“Kamu punya keluarga. Kamu punya istri, anak-anak yang lengkap. Aku? Aku sendirian.”
Andra menatap Wina dalam-dalam. “Tapi aku kesepian.”
Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa disaring. Dan setelahnya, hening. Hujan di luar semakin deras. Andra merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang yang semakin dalam.
Wina menunduk. “Aku juga.”
Mereka saling menatap, saling mengerti, dan semakin sulit untuk berpura-pura bahwa hubungan mereka masih sekadar teman.
Di rumah, jarak antara Andra dan Dira semakin terasa. Dira semakin sering tertidur lebih awal karena lelah. Percakapan mereka menjadi dangkal. Tentang susu anak, tentang pengeluaran, tentang tetangga yang ribut. Tidak ada lagi obrolan tentang mimpi, tentang hati, tentang rasa.