Andra semakin pandai menyembunyikan perasaannya. Ia berusaha tampak tenang di depan Dira, seolah hidupnya baik-baik saja. Namun setiap malam, ketika Dira tertidur lebih dulu, Andra selalu duduk sendiri di teras, ditemani secangkir kopi yang mulai dingin, memandangi langit kosong yang tak memberinya jawaban.
Di layar ponselnya, pesan dari Wina selalu ada. Obrolan mereka mengalir, ringan, tapi perlahan menjadi tempat Andra melepaskan beban hatinya. Wina tidak pernah menuntut, tidak pernah memaksanya menjadi sosok sempurna. Ia hanya hadir, mendengarkan, dan memberi ruang bagi Andra untuk menjadi dirinya sendiri.
Di sisi lain, Dira mulai merasakan perubahan yang semakin jelas. Suaminya kini lebih sering memandangi ponsel, lebih sering keluar rumah dengan alasan yang tak selalu jelas. Namun Dira memilih menahan diri. Ia mencoba percaya, mencoba meyakinkan hatinya bahwa Andra hanya sedang lelah.
Namun malam itu, keraguan Dira tak lagi bisa ia abaikan.
“Andra, kamu sibuk terus ya belakangan ini?” tanya Dira pelan, saat mereka sudah berbaring di tempat tidur.
Andra menoleh sekilas, lalu mengangguk kecil. “Iya, lagi banyak kerjaan.”
“Kalau ada yang kamu pikirkan, ceritain ke aku, ya.”
Andra tersenyum tipis. “Iya, nanti.”
Namun ‘nanti’ itu seolah tak pernah benar-benar datang.
Andra semakin sering keluar rumah. Kadang ia hanya duduk di taman, kadang bertemu Wina untuk sekadar berbincang sambil mengawasi anak-anak mereka bermain.
Hari itu, mereka bertemu lagi di taman kecil dekat sekolah anak-anak. Wina tampak lebih ceria dari biasanya, membawa beberapa camilan yang ia siapkan sendiri.
“Aira suka biskuit ini kan? Aku sengaja bawa,” kata Wina sambil menyodorkan kotak kecil berisi biskuit.
Andra tersenyum, tapi matanya menyimpan kegelisahan.