Sudah tiga minggu sejak Andra memilih menjaga jarak dari Wina. Sejak saat itu, ia mulai berusaha memulihkan kehangatan di rumah. Ia membantu Dira di dapur, mencoba mendekatkan diri kembali pada Aira dan Arvan, dan berusaha membuat Dira merasa diperhatikan. Tapi semua itu terasa… terlambat.
Dira bukan lagi perempuan yang mudah luluh. Senyumnya kini tipis, suaranya hati-hati, dan cara menatap Andra tak lagi penuh kepercayaan.
Andra menyadari, ia sedang membangun kembali sesuatu yang sudah retak dari pondasinya. Dan setiap langkah yang ia ambil, selalu diiringi bayang-bayang masa lalu yang belum benar-benar selesai.
Malam itu, saat anak-anak sudah tidur, Dira duduk di ruang tamu sambil merapikan dokumen tagihan. Andra mendekat, mencoba membuka percakapan.
“Besok kamu mau aku antar ke pasar pagi?” tawarnya.
Dira hanya menoleh sekilas. “Nggak usah. Aku udah janji sama Mbak Lilis tetangga sebelah.”
Andra mengangguk. Diam.
Suasana hening membentang di antara mereka. Bukan hening yang nyaman, tapi hening yang menyesakkan.
“Dir…” Andra akhirnya bicara, suaranya pelan. “Aku tahu aku bikin semuanya jadi rumit.”
Dira menutup map tagihan dan memandangnya, tenang tapi tajam. “Kamu baru tahu sekarang?”
Andra menunduk. “Aku cuma… aku cuma butuh ruang waktu itu.”