Hari-hari di rumah Andra dan Dira tak lagi sama. Meski masih tinggal serumah, kehangatan yang dulu ada kini menghilang, digantikan udara yang dingin dan penuh kehati-hatian. Setiap percakapan menjadi pendek. Setiap tatapan terasa mengandung makna yang tak terucap.
Andra berusaha. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan, dan mengantar anak-anak ke sekolah. Ia mulai meninggalkan kebiasaan duduk diam berjam-jam di teras. Kini, ia lebih banyak berada di dekat keluarganya. Tapi semua itu belum cukup untuk menyembuhkan luka yang telah dia ciptakan.
Dira, meski tak lagi bertanya soal Wina, menyimpan semuanya sendiri. Di dalam dirinya, ada perang antara rasa ingin memaafkan dan rasa ingin pergi. Ia mencintai Andra, tentu. Tapi rasa cinta saja kadang tak cukup untuk bertahan.
---
Sore itu, setelah menjemput Aira dari sekolah, Andra menghampiri Dira yang sedang menyiram tanaman di halaman belakang. Langkahnya pelan, seperti seseorang yang merasa bersalah tapi ingin mencoba bicara.
“Dir… kamu ada waktu sebentar?” tanyanya hati-hati.
Dira tak menoleh. “Buat apa?”
“Aku cuma pengen ngobrol. Kita nggak pernah ngobrol lagi sekarang.”
Dira meletakkan selang dan berbalik. Tatapannya datar, tapi tak lagi sekeras sebelumnya.
“Aku dengerin. Silakan.”
Andra menelan ludah. “Aku tahu aku udah bikin kamu kecewa. Dan aku nggak akan cari-cari alasan buat ngebela diri. Aku cuma mau kamu tahu… aku nyesel, Dir.”
Dira diam.
“Aku ngerasa kosong waktu itu. Aku butuh temen cerita, butuh tempat pulang yang bukan cuma bangunan rumah. Tapi seharusnya aku nggak nyari itu di luar kamu.”
Dira menunduk, tangan kirinya menggenggam ujung kerudungnya. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab.