Langkah Andra menyeret perlahan di trotoar basah, sepatu sobeknya menyerap air hujan semalam. Tangannya menggenggam plastik berisi roti kering dan air mineral.pemberian dari seorang mahasiswi relawan. Ia tak lagi menunduk seperti dulu saat menerima bantuan. Kini ia tahu, harga dirinya sudah lama ia kubur bersama pilihan hidup yang salah.
Di sebuah taman kota dekat halte, Andra duduk di bangku batu. Matanya menerawang kosong. Rambutnya gondrong tak terurus, wajahnya dipenuhi kumis dan jenggot yang menua tanpa kehormatan.
Beberapa anak muda lewat sambil tertawa. Salah satu dari mereka menatap Andra dan berbisik pelan, lalu tertawa mengejek. Andra mendengar, tapi ia tak peduli. Sudah terlalu sering ia jadi bahan olok-olok.
Namun siang itu, nasib mempermainkan hatinya lebih dalam.
Seorang perempuan muda turun dari taksi yang berhenti tak jauh dari taman. Ia mengenakan blazer biru, rambut diikat rapi. Ia tampak sedang mencari arah, menoleh ke kiri dan kanan sebelum akhirnya berjalan cepat melintasi taman.
Andra menoleh, hanya sekilas. Tapi kemudian wajah itu membuatnya membeku.
Nisa.
Mantan staf marketing junior di kantornya dulu. Ia dulu sering minta masukan soal laporan, bahkan beberapa kali menangis di ruangannya saat dimarahi atasan. Andra, yang dulu jadi sosok panutan. Yang dulu dipanggil "Pak Andra" dengan hormat.
Dan sekarang… ia hanya pria kumal yang duduk di bangku taman, memegangi plastik roti, dengan sandal bolong dan bau tubuh yang menyengat.
Nisa tampak tidak menyadari siapa yang duduk di bangku itu. Ia hanya lewat begitu saja. Tapi entah dorongan dari mana, Andra berdiri pelan, nyaris gemetar.
“Nisa…”
Nisa berhenti. Menoleh.