NESTAPA DI PUBER KEDUA

Rindiyati mei cayo
Chapter #11

Pintu yang tak lagi terbuka

Pagi itu, matahari memancar malu-malu di balik awan tipis. Tapi tak ada sinar yang mampu menembus dinginnya dada Andra. Di tangan kirinya, ia memegang koran bekas yang ia pungut dari bak sampah semalam—bukan untuk dibaca, tapi untuk menghangatkan telapak kaki yang mulai pecah karena tak lagi memakai kaus kaki sejak berminggu-minggu.

Andra berdiri di depan gerbang toko bangunan besar di pinggir jalan protokol. Ia dengar dari seorang gelandangan lain, tempat itu kadang menerima kuli harian tanpa syarat administrasi. Tanpa KTP. Tanpa ijazah.

Hanya butuh tenaga.

Dan Andra masih punya itu, meski tak banyak.

Ia masuk dengan kepala tertunduk. Seorang mandor mendekatinya.

“Butuh kerja, Pak?” tanya sang mandor sambil memperhatikan tubuh Andra dari atas ke bawah.

Andra mengangguk. “Apa aja. Saya kuat. Mau angkat-angkat, bersihin gudang, apapun bisa.”

Mandor mengerutkan alis, melihat penampilan Andra yang lusuh, rambut berantakan, dan pakaian dekil.

“Pernah kerja bangunan sebelumnya?”

“Belum. Tapi saya bisa belajar cepat.”

Mandor hanya diam. Lalu berbisik ke pria di sebelahnya sambil tertawa kecil. “Wah, orang tua stres kayaknya…”

Andra mendengarnya. Tapi ia tak merespons. Ia sudah terlalu lelah untuk marah.

“Maaf, Pak. Di sini butuh orang yang udah terbiasa. Bapak nanti malah jadi beban.”

Andra ingin menjelaskan. Ingin bilang bahwa dulu ia pernah memimpin puluhan orang. Bahwa ia pernah menyusun strategi pemasaran yang menghasilkan miliaran. Bahwa ia bukan pemalas, bukan penipu, bukan pencuri.

Tapi kini, ia bahkan tak bisa meyakinkan orang bahwa ia layak diberi kesempatan… untuk sekadar mengangkut semen.

Ia mengangguk pelan, lalu mundur. Kaki tuanya terasa lebih berat dari sebelumnya.

---

Setelah ditolak dari toko bangunan itu, Andra berjalan ke arah belakang pasar. Ia duduk di dekat penjual pisang goreng yang mulai membereskan dagangan. Aroma minyak dan tepung hangus memenuhi udara.

Penjual itu memperhatikan Andra sebentar, lalu bertanya hati-hati, “Lapar, Pak?”

Andra tak menjawab. Ia hanya menunduk. Tangannya memeluk perut yang sudah tidak mengeluh lagi karena terlalu sering dibiarkan kosong.

Tanpa diminta, ibu itu memberinya satu pisang goreng hangat. “Ini buat Bapak. Makan, ya…”

Andra menerimanya dengan suara serak, “Terima kasih… Ibu baik sekali…”

“Dulu suami saya juga pernah ngalamin, Pak. Tapi alhamdulillah sekarang udah kerja lagi. Bapak jangan putus asa…”

Lihat selengkapnya