NESTAPA DI PUBER KEDUA

Rindiyati mei cayo
Chapter #12

Suara yang hanya Dia dengar

Hari itu panas. Tapi bagi Andra, tak ada lagi perbedaan antara panas atau dingin. Semua hari kini hanya dibedakan oleh satu hal: lapar atau sangat lapar.

Ia duduk di trotoar dekat perempatan jalan, bersandar pada tiang listrik, matanya kosong. Orang lalu-lalang di hadapannya, beberapa mempercepat langkah, beberapa lagi menatap sinis, dan sisanya pura-pura tidak melihat.

Di tangannya, ada selembar kertas kotor,potongan dari majalah yang robek, menampilkan gambar keluarga yang sedang tersenyum di meja makan. Andra menatap gambar itu lama, matanya tak berkedip.

“Aira pasti udah bisa baca lancar, ya…” gumamnya pelan, senyum getir muncul di bibirnya.

Orang yang lewat menoleh sekilas, tapi buru-buru memalingkan wajah.

“Ayah suka kamu baca buku ya, Nak… ayah dulu janji mau beliin kamu buku cerita bergambar…,” bisiknya lagi.

Ia tertawa kecil. Tertawa yang lebih mirip gumam kosong.

“Arvan… kamu pasti makin tinggi, ya? Bisa jadi pemain bola, seperti yang kamu mau… Tapi maaf ya, Nak… Ayah nggak bisa antar kamu latihan…”

Andra menatap langit, seperti sedang mengobrol dengan seseorang yang duduk di atas awan.

“Dira… kamu masih suka pakai teh celup dua kali? Atau kamu udah mulai minum kopi kayak dulu sebelum nikah?”

Ia menunduk dan terkekeh. “Kamu bilang kopi itu racun, tapi kamu juga yang ngajarin aku bikin kopi enak.”

Orang-orang mulai menjauh. Beberapa anak muda tertawa pelan, saling berbisik.

“Pak itu gila ya?”

“Ngomong sama angin…”

Tapi Andra tak mendengar mereka. Ia sudah masuk ke dalam dunianya sendiri. Dunia di mana keluarganya masih utuh, di mana anak-anaknya masih memeluknya, dan di mana Dira masih menatapnya penuh cinta meski sedang marah.

--

Malamnya, ia berjalan menyusuri jalan kecil di belakang pertokoan. Ia berhenti di depan sebuah etalase toko pakaian.

Lihat selengkapnya