Pagi datang tanpa salam.
Langit menghitam mendung, meski matahari sudah tinggi. Di pelataran pasar lama yang nyaris ditinggalkan, Andra terduduk sambil menggambar di tanah dengan pecahan ranting. Gambar itu tak lain adalah denah rumah. Di tengahnya, ia menulis dengan goresan jari:
“Aira – kamar kanan”
“Arvan – kamar biru”
“Dira – dapur, bikin teh”
Ia tersenyum sendiri, seolah sedang merancang kembali kehidupannya yang dulu.
“Kalau kita pindah, nggak usah yang besar-besar ya… Yang penting bisa makan bareng,” gumamnya sambil menatap ke langit.
Orang-orang yang melintas sudah mulai hapal dengan wajah dan perilakunya. Beberapa kasihan. Sebagian besar hanya menghindar.
“Gila yang tenang…” kata seseorang pelan.
Andra bangkit, masih menatap lurus ke depan. Tapi langkahnya tak jelas arah. Ia berjalan melewati deretan kios kosong, menuju jalan utama. Matanya tampak kosong, namun kakinya melaju perlahan, seperti ada suara yang membimbingnya.
Dari kejauhan, suara klakson terdengar.
“Pak! Hei! Hati-hati!” teriak seorang pengemudi ojek.
Tapi Andra terus berjalan.
Ia melangkah tepat ke tengah jalan raya, di antara mobil-mobil yang melaju cepat.
Beberapa pengendara membunyikan klakson keras.
Sebuah mobil sedan hitam melaju kencang—tidak sempat mengerem.
“WOI!!!” teriak seseorang.
Andra menoleh.
Terlambat.
Braakkk!
Tubuhnya terpental ke pinggir jalan, membentur tiang reklame. Orang-orang menjerit. Suara rem mendecit keras. Mobil itu berhenti mendadak.