Dua hari setelah kejadian di trotoar, suasana di kamar kos Rani terasa lebih tenang. Namun ketenangan itu hanya sebatas permukaan. Di dalam benak Andra, suara-suara samar mulai berdatangan lebih sering—dan lebih tajam.
Hari itu, Rani sedang menyeterika pakaian. Andra duduk di sudut, menatap jendela kecil kamar. Wajahnya murung.
Lalu tiba-tiba ia bicara:
“Waktu itu hujan deras. Aku pulang telat. Dan dia… dia duduk di ruang tamu sambil nangis.”
Rani mendongak. “Siapa?”
Andra memejamkan mata. Nafasnya berat. “Anak… perempuanku. Aira…”
Rani mendekat. Duduk di lantai dekat kakinya. “Bapak… inget sesuatu lagi?”
Andra mengangguk pelan. “Aku… aku inget aku nyakitin mereka. Tapi aku gak tahu kenapa aku pergi.”
“Siapa ‘mereka’?”
Andra menatap kosong. “Istriku. Anakku. Aku pergi dari rumah. Tapi… bukan karena aku dibuang. Aku yang meninggalkan mereka…”
Rani menatapnya lekat-lekat.
Itu pengakuan pertama yang paling jelas dari Andra sejak ia tinggal bersamanya.
---
Di sisi lain kota, Dira duduk di depan laptopnya, di ruang kerjanya sendiri. Ia mengetik cepat di kolom pencarian media sosial: “Pria hilang, gelandangan, Andra…”
Ia membuka kembali unggahan Facebook yang menyertakan foto suaminya dari jarak dekat. Rani-lah yang dulu memposting itu, tapi nama pengunggah tak ia kenali karena hanya akun biasa. Ia mengecek profil tersebut. Publik. Lokasinya tertera: Jakarta Timur.
“Dia ada di sana. Dia hidup. Tapi kenapa tidak kembali…?”
Dengan hati-hati, Dira mencetak foto itu. Lalu mengambil satu bundel dokumen dari laci: akta nikah, kartu keluarga, dan foto lama Andra bersama anak-anak.