Dua minggu telah berlalu sejak Dira datang dan Bram menelepon. Sejak itu, tak ada lagi dialog panjang. Tapi banyak yang berubah dalam diam.
Andra kini terbiasa bangun pagi, bekerja di bengkel kecil yang mulai mempercayainya untuk pekerjaan ringan. Ia tak lagi murung sepanjang waktu, meski rasa bersalah masih menggantung di setiap napasnya.
Tapi satu hal yang tak bisa ia cegah—keheningan dari Rani yang makin membeku.
---
Sore itu, saat Andra baru pulang dari bengkel, ia melihat sebuah koper kecil di sudut kamar. Rani sedang menyusun pakaian ke dalam tas selempang.
Andra mengerutkan dahi. “Kamu mau kemana?”
Rani berhenti, lalu menoleh.
“Aku udah bilang sebelumnya. Aku butuh ruang. Aku pindah kos minggu ini.”
Andra terpaku. “Karena aku?”
Rani menghela napas. “Bukan salah siapa-siapa. Tapi aku gak bisa terus jadi penonton kisah yang bahkan bukan aku pelakunya.”
Andra duduk. “Kamu marah?”
“Enggak,” jawabnya datar. “Tapi aku juga bukan batu. Dulu aku pikir, kamu orang yang tak punya siapa-siapa. Tapi ternyata… kamu hanya sedang kabur dari semuanya. Dan aku terlalu ikut hanyut.”
Hening beberapa saat.