Pagi itu Andra duduk sendirian di pelataran bengkel, menghadap jalan yang perlahan dipadati kendaraan. Ia belum bekerja hari itu. Ada satu hal yang mendesak di kepalanya,ia ingin bertemu anak-anaknya.
Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Setelah beberapa detik ragu, ia mengetik pesan untuk Dira.
Dira, kalau boleh… bisakah aku bertemu Aira dan Arvan? Meskipun sebentar. Aku ingin minta maaf langsung. Aku siap diatur waktu dan tempatnya.
Pesan terkirim. Andra menatap layar kosong cukup lama, seperti sedang menunggu pengampunan dari langit.
Tapi jawaban yang datang sangat singkat:
Belum saatnya, Andra. Mereka belum siap melihat ayah yang bahkan dulu tak berpamitan.
Andra menutup mata. Nafasnya tercekat. Tapi tak ada kemarahan. Hanya… penerimaan yang getir.
---
Hari berganti malam.
Andra pulang ke kamar kos yang kini kosong. Rani benar-benar pergi. Kamar terasa lebih lapang, tapi juga lebih dingin.
Ia merebahkan diri, menatap langit-langit. Dan di tengah keheningan itu, ada ketukan di pintu.
Tok. Tok.
Andra berdiri pelan, membuka. Seorang pria muda berdiri dengan ransel di punggung.
“Pak Andra?”