Hari itu, langit Jakarta mendung sejak pagi. Dira berdiri di depan cermin panjang, mematut dirinya. Bukan untuk bersolek, tapi untuk mempersiapkan wajah yang tak boleh goyah.
Di meja ruang keluarga, Aira dan Arvan duduk saling membisu. Di hadapan mereka, ada sebuah foto kecil.
Foto itu—ayah mereka.
“Ini siapa?” tanya Aira pelan.
Dira duduk di seberang mereka. Nafasnya berat. Ia tahu, pertanyaan itu akan datang.
“Itu... Ayah kalian,” jawabnya, lembut.
Arvan mengerutkan dahi. “Tapi Ibu bilang Ayah hilang. Udah gak ada.”
“Ayah gak hilang. Ayah... pergi. Dan sekarang dia hidup. Tapi... dia sedang mencoba kembali.”
Aira menunduk. “Kenapa baru sekarang Ibu bilang?”
Dira menarik tangan putrinya. “Karena baru sekarang Ibu yakin… kalau Ayah benar-benar berubah. Dia bukan Andra yang dulu.”
Arvan berdiri. Matanya berkaca-kaca.
“Dulu dia pergi waktu aku sakit. Waktu Aira ulang tahun. Sekarang dia mau datang pas kita udah lupa cara nyebut namanya?”