Langit sore berwarna jingga tua saat pesan itu masuk ke ponsel Andra. Singkat, tanpa embel-embel basa-basi:
" Besok, pukul 10 pagi. Taman kota belakang sekolah Arvan. Aku akan bawa mereka. Tapi jangan dekati. Lihat saja dari jauh. Kalau mereka siap… mereka akan datang".
Tangan Andra bergetar membaca pesan itu. Rasanya seperti diberi kesempatan masuk surga, tapi hanya boleh melihat dari pintu.
Ia menatap cermin. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kusam, tapi matanya,untuk pertama kali sejak lama,penuh cahaya yang tak dibuat-buat.
Pagi itu, Andra sudah tiba lebih awal. Ia duduk di bangku tua di bawah pohon ketapang besar, mengenakan jaket lusuh dan topi.
Tak lama, sebuah mobil berhenti di seberang taman. Dira turun lebih dulu, kemudian Aira dan Arvan keluar pelan.
Andra menahan napas. Ia melihat mereka,putrinya yang kini remaja, dan putranya yang sudah tumbuh tinggi. Mereka lebih tinggi dari yang ia ingat, dan lebih sunyi dari yang ia bayangkan.
Dira memegang tangan keduanya, berjalan perlahan menuju bangku taman yang berjarak puluhan meter dari tempat Andra duduk. Mereka duduk. Tak bicara. Hanya menatap dan mengawasi lingkungan.
Andra menatap dari jauh. Hatinya seperti diremas. Ingin berlari, memeluk, menangis—tapi ia tahu, itu bukan haknya lagi.
Lalu Aira berdiri. Ia menoleh sebentar ke arah Andra. Sangat singkat.
Tapi cukup untuk membuat air mata Andra jatuh.
Dia tahu aku di sini.
Aira kembali duduk. Ia membuka tas kecil, mengambil sesuatu. Sebuah kertas yang dilipat dua.