Langkah Andra perlahan saat ia masuk ke sebuah kafe kecil di pusat kota. Di sana, Bram sudah menunggu. Pria itu masih sama seperti dulu: necis, tajam, dan ramah.
“Andra,” sapa Bram dengan senyum tulus. “Gue masih gak nyangka lo balik.”
Andra duduk pelan. “Gue gak balik. Gue sedang belajar jalan pelan-pelan lagi.”
Bram mengangguk, lalu mengeluarkan satu map.
“Gue serius soal tawaran kerja itu. Supervisor. Kantor cabang. Gaji lumayan. Gak gede banget, tapi cukup buat lo mulai dari nol. Tapi jam kerjanya padat. Lo bakal sibuk full tiap hari.”
Andra membuka map itu. Ia membaca perlahan, lalu menatap Bram lama.
“Kalau gue ambil ini… berarti gue gak bisa temui anak-anak tiap Sabtu, gak bisa bantu temenin Rani kerja pagi, dan gak bisa lanjut bantuin bengkel tempat gue numpang hidup kemarin-kemarin.”
Bram mengangkat alis. “Lo mikirin banyak orang sekarang ya.”
Andra tersenyum. “Karena kali ini gue gak mau sembuh sendirian.”
Bram terdiam beberapa detik, lalu tersenyum. “Kalau lo tolak, gue gak bakal kecewa. Gue bakal bangga. Karena ini Andra yang gak pernah gue kenal dulu.”
Andra menutup map itu. “Gue belum siap kembali ke dunia lama. Tapi gue gak akan lari lagi. Kalau lo percaya, gue mau bantu—asal gue masih bisa tetap jadi ayah. Sekalipun hanya dari bayangan.”