Malam itu, Arvan duduk sendiri di ruang tamu, menggambar robot di buku sketsanya. Tapi sejak sesi terapi dua hari lalu, pikirannya tak benar-benar tenang.
Ia ingat surat yang dibacakan. Ia ingat suara kakaknya saat membaca puisi. Tapi yang paling mengganggu…
Adalah satu suara asing di hatinya yang berkata:
"Kalau dia benar-benar berubah... kenapa aku masih membencinya?”
Dira yang lewat di depan ruang tamu melirik sejenak.
“Kamu belum tidur, Van?”
Arvan mengangguk. “Belum ngantuk, Bu.”
Dira ragu beberapa saat, lalu duduk di samping anaknya.
“Kamu boleh marah. Boleh bingung. Ibu juga dulu begitu. Tapi kadang… memaafkan bukan karena orang itu pantas, tapi karena kita butuh tenang.”
Arvan menatap ibunya. Lalu bertanya dengan suara pelan.
“Waktu kecil... Ayah pernah gendong aku?”
Dira tersenyum getir. “Sering. Waktu kamu demam, Ayah yang begadang. Waktu kamu pertama belajar jalan, Ayah yang rekam pakai HP-nya.”
Arvan menunduk. “Aku gak ingat…”