Ruang terapi itu sama seperti sebelumnya. Dinding pastel lembut, sofa tiga tempat duduk, dan meja kecil di tengah yang kini hanya diisi dua gelas air putih.
Dira duduk di sisi kanan. Arvan di sebelahnya, menggenggam ujung jaketnya erat-erat.
Pintu terbuka perlahan.
Andra masuk. Langkahnya pelan. Tak terburu. Tak penuh percaya diri.
Ia duduk di ujung sofa, menjaga jarak. Pandangannya sempat menyapu Arvan, tapi segera menunduk.
Psikolog keluarga mereka, Bu Lestari, membuka percakapan dengan suara rendah.
“Terima kasih sudah datang. Hari ini… bukan tentang menyelesaikan masalah. Tapi tentang membuka pintu, meski hanya sedikit.”
Andra menunduk.
“Aku siap dengar,” katanya lirih.
Arvan masih diam. Matanya menatap lantai.
Lestari menoleh pada Arvan. “Kalau kamu ingin bicara… tak perlu lengkap. Satu kalimat pun cukup.”
Arvan menarik napas panjang. Ia tak langsung menatap Andra, tapi suaranya terdengar jelas.
“Kenapa waktu aku demam tinggi… kamu gak datang?”
Andra terdiam. Butuh waktu lama sebelum ia menjawab.