Sore itu langit mendung. Dira duduk sendirian di taman belakang rumah, mengenakan sweater tipis, dengan segelas teh melati di tangan.
Di pangkuannya, sebuah buku foto keluarga lama terbuka. Di antara lembaran-lembaran itu, senyum-senyum masa lalu menatapnya: senyum Aira kecil, tawa Arvan yang belum tahu luka, dan… Andra.
Wajah itu dulu sangat ia benci. Tapi kini, saat menatapnya lebih lama, yang tersisa bukan amarah, tapi sunyi.
> “Apa aku sudah benar-benar memaafkan? Atau… aku mulai merindukan sesuatu yang dulu kupaksa mati?”
Ponselnya berbunyi.
Pesan dari Andra.
> Aku tahu ini mendadak, tapi… bisa kita bicara sebentar? Bukan soal anak-anak. Tapi soal kamu dan aku. Di tempat biasa.
Tempat biasa.
Warung kopi kecil dekat taman kota. Tempat mereka dulu sering berteduh dari keributan rumah, bertukar lelah sambil menyeruput kopi hangat dan tahu goreng.
Dira menatap layar lama. Lalu, entah kenapa… ia bangkit. Mengambil jaket. Dan pergi
Warung kopi itu sepi. Hanya ada satu pasangan tua di pojok.
Andra sudah duduk. Mengenakan kemeja putih yang disetrika seadanya. Wajahnya bersih, meski garis-garis lelah tak bisa disembunyikan.
Dira duduk di hadapannya. Tak banyak bicara.