Malam itu hujan turun perlahan. Bukan badai, bukan gerimis tapi ,seperti air langit yang enggan turun cepat, seolah ingin memberi ruang bagi kenangan-kenangan yang mulai tumbuh lagi.
Dira duduk di teras rumah. Pintu rumah sudah terkunci, anak-anak sudah tidur. Tapi hatinya masih terjaga.
Di tangannya, ada secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Dan di hadapannya—Andra. Duduk di kursi plastik yang dulu pernah ia buang, tapi kini entah bagaimana kembali dipakai.
Mereka diam cukup lama. Sampai akhirnya Dira bicara lebih dulu.
“Kamu tahu... dulu aku pernah berharap kamu mati.”
Andra tidak terkejut. Ia menatap Dira dengan mata penuh pengertian.
“Aku tahu. Dan kalau aku jadi kamu... mungkin aku juga akan berharap yang sama.”
Dira tersenyum tipis. “Tapi sekarang, aku malah takut kehilangan kamu. Bukan karena cinta yang sama seperti dulu. Tapi karena... aku mulai percaya lagi kalau kamu bisa jadi ayah yang layak.”
Andra menunduk.
“Aku juga gak tahu harus bawa hubungan ini ke mana. Aku gak pengen buru-buru nyebut kata ‘kembali’. Karena kalau kita nyebut itu... ekspektasinya besar.”