Pagi itu, Andra berdiri di depan rumah dengan kemeja biru muda dan sepatu usang yang ia bersihkan semalaman. Di tangannya, ada helm kecil warna pink yang ia bawa sejak pukul enam.
Aira membuka pintu pelan, ragu-ragu.
“Yakin Ayah mau antar?”
Andra mengangguk. “Kalau kamu gak nyaman, Ayah bisa tunggu di depan, atau gak usah antar sampai masuk.”
Aira menatap ayahnya, lalu mendesah.
“Aku udah bilang ke teman-temanku kalau kamu hidup lagi.”
Andra mengernyit. “Hidup lagi?”
Aira tertawa kecil. “Iya. Karena dulu aku bilang Ayahku udah gak ada. Sekarang mereka semua kaget. Jadi… biarin aja mereka lihat.”
Andra terdiam. Lalu menyerahkan helm.
“Aku janji gak akan bikin kamu malu.”
Mereka berdua pun naik motor butut yang dulu sempat dipakai Andra kerja ojek online. Sepanjang jalan, tak banyak bicara. Tapi di cermin spion kecil itu, Aira sempat tersenyum diam-diam. Dan Andra melihatnya. Hatinya hangat.
Sementara itu, di rumah, Arvan duduk di depan kamar Andra yang masih kosong. Di tangannya, sebuah sepatu olahraga lama warna hitam. Di bagian sampingnya tertulis nama: A.R. Putra.