Andra menatap layar ponsel di tangannya.
Sebuah email dari rekan lamanya, Pak Jarot, baru saja masuk:
> “Kami ingin menawarkan posisi tetap sebagai konsultan proyek lapangan. Lokasi kerja di luar kota. Kontrak dua tahun. Akomodasi ditanggung. Kami tahu reputasi kamu masih kuat, Ndra. Dan kamu butuh ruang baru.”
Matanya kosong. Ia tahu tawaran itu bagus. Kariernya bisa hidup lagi. Tapi hatinya… belum siap jauh dari tiga nama yang kini mulai mengisi ulang hidupnya: Aira, Arvan, dan Dira.
Sore harinya, Dira sedang menyisir rambut Aira di kamar. Putrinya duduk bersandar di depannya, membaca buku.
Lalu, dengan suara pelan tapi jujur, Dira bertanya.
“Kamu marah gak, kalau suatu saat nanti Ayah tinggal di rumah ini lagi?”
Aira tidak langsung menjawab. Ia menutup bukunya perlahan.
“Dulu... aku benci banget sama Ayah. Tapi sekarang, aku lebih takut kehilangan daripada marah.”
Dira tersenyum tipis, matanya berkaca.
“Jadi, kamu gak keberatan?”
Aira menggeleng. “Aku gak keberatan Ayah tinggal bareng lagi. Asal… bukan karena kasihan. Tapi karena dia benar-benar pengen jadi bagian keluarga ini lagi.”
Dira mengangguk, menahan isak kecil.