Andra bangun pagi-pagi, mengenakan rompi proyek yang ia dapatkan dari pekerjaan barunya di proyek drainase dan jalan kecil dekat kompleks. Bukan posisi manajer, bukan pula konsultan. Tapi ia tak keberatan. Kali ini, yang penting adalah kehadiran dan penghasilan yang nyata.
Ia mencium tangan Dira sebelum pergi, walau masih canggung. Dira hanya tersenyum dan mengangguk.
“Pulang jam lima, ya. Arvan mau kamu bantu dia kerjain PR,” kata Dira pelan.
Andra tertawa kecil. “Siap, Bu Guru.”
Namun pukul tiga sore, sebuah panggilan masuk.
Dira.
“Andra, pulang sekarang. Arvan panas tinggi. Aku udah kasih obat, tapi dia menggigil. Aku panik.”
Tanpa pikir panjang, Andra meletakkan alat kerja, minta izin pulang lebih awal, dan mengayuh motornya melawan hujan gerimis.
Saat ia tiba, Arvan sudah dibaringkan di ruang tengah, wajahnya pucat, napasnya cepat.
Andra langsung duduk di samping ranjang.
“Van… Ayah di sini ya. Gak kemana-mana.”