NESTAPA DI PUBER KEDUA

Rindiyati mei cayo
Chapter #38

Luka yang tak Pernah Sempat Diucap

Hari Jumat itu datang dengan langit mendung.


Andra mengambil cuti. Ia bahkan menyetrika sendiri kaos terbaik yang ia punya yang sudah agak lusuh tapi bersih. Di sakunya, ia selipkan permen rasa mint untuk Arvan nanti, jika gugup.


Di rumah, Arvan tampak siap. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa takut. Bukan takut kalah. Tapi takut ayahnya tidak datang.


“Kalau kamu gak lihat Ayah di tribun nanti, kamu panggil aja pakai mata,” ujar Andra sebelum berangkat, menepuk pelan pundaknya.


Arvan tertawa kecil. “Kalau Ayah gak ada, aku akan main seolah-olah kamu ada. Tapi kalau kamu beneran datang… mungkin aku akan main lebih baik.”


Andra mengecup keningnya. “Ayah akan di sana. Janji.”



Di sekolah, pertandingan berlangsung meriah. Suara peluit, teriakan teman-teman, dan sorakan guru membuat suasana riuh.


Di tengah tribun kecil, Andra berdiri. Menyikut pundaknya sendiri karena tak punya kursi. Tapi matanya tak pernah lepas dari lapangan.


Arvan bermain seperti singa kecil. Lincah, fokus, dan tak gentar. Ia bahkan mencetak satu gol lewat tendangan tajam dari sudut sempit.


Andra berdiri, berteriak, “GOLLL!!! Itu anak Ayah!!”


Semua orang tertawa. Tapi Andra tak peduli.

Karena hari ini, ia menjadi penonton nomor satu bagi anak yang pernah ia tinggalkan.


Dan ketika peluit panjang dibunyikan, Arvan langsung lari ke pinggir lapangan. Bukan untuk merayakan kemenangan dengan teman-teman. Tapi untuk memeluk ayahnya.


Pelukan itu singkat. Tapi cukup untuk menyapu sisa-sisa luka masa lalu yang selama ini mengendap di dada kecilnya.


Lihat selengkapnya