Pagi itu hujan turun lembut. Rintiknya seperti irama pengantar tidur, meski matahari sudah meninggi. Di dapur, aroma jahe hangat dan gorengan tempe memenuhi udara.
Andra sedang memotong roti tawar, menyiapkan sarapan seadanya sambil sesekali melihat catatan kecil berisi resep.
“Ini gula merahnya yang diiris atau diserut ya, Ra?” teriak Andra dari dapur.
Aira muncul dari balik pintu, masih memakai sweater dan menguap. “Diserut, Yah. Tapi Ayah mau bikin apa sih?”
“Wedang jahe. Kemarin kamu bilang tenggorokanmu perih.”
Aira tersenyum kecil. “Iya. Tapi Ayah gak perlu repot…”
Andra menghampirinya, menyodorkan gelas berisi air hangat. “Kali ini Ayah mau repot. Karena dulu Ayah terlalu sering lari dari tanggung jawab.”
Aira tak menjawab. Ia hanya menyeruput perlahan, lalu memejamkan mata. “Enak.”
Di ruang tengah, Arvan sedang duduk di karpet, menggambar sesuatu dengan spidol warna-warni. Ketika Andra mendekat, ia memperlihatkan kertasnya.
“Lihat, Yah! Ini gambar kita bertiga.”
Andra melihat: gambar rumah, dua orang dewasa, dan dua anak. Tapi wajah Andra digambar paling besar, dengan senyum lebar.
“Kenapa wajah Ayah paling besar?” tanya Andra sambil tersenyum.
“Karena sekarang Ayah selalu ada.”