Pagi itu, cuaca cerah. Di meja makan, Dira menyiapkan sarapan sederhana sambil bersenandung kecil. Andra membantu menyeduh teh hangat, sementara Aira dan Arvan masih di kamar membereskan perlengkapan sekolah.
Rutinitas keluarga ini mulai kembali seperti dulu, bahkan terasa lebih hangat. Tak ada bentakan, tak ada jarak. Hanya percakapan kecil dan tawa pelan yang menghiasi rumah itu.
Namun, ketenangan itu perlahan pecah saat bel rumah berbunyi.
Tok. Tok. Tok.
Andra bergegas membuka pintu. Seorang pria berdiri di sana. Wajahnya tirus, matanya tajam, dan jaket kulit hitamnya masih basah karena embun pagi. Di belakangnya, ada seorang wanita muda, mengenakan kacamata hitam dan menggandeng koper kecil.
Andra mengernyit. “Maaf, bisa saya bantu?”
Pria itu tersenyum kecil, tapi bukan senyum ramah. “Saya mencari Dira.”
Dira yang mendengar suara itu dari ruang tengah langsung mematung. Tangannya yang memegang cangkir bergetar. Ia mengenal suara itu—suara yang telah ia kubur dalam-dalam bertahun-tahun.
Andra menoleh ke arah Dira. “Ra? Kamu kenal?”
Dira perlahan melangkah ke depan pintu. Matanya menatap pria itu tajam, seperti ingin memastikan kalau ini hanya mimpi buruk.
“Rama…” bisiknya.
Andra terkejut. “Siapa dia?”