NESTAPA DI PUBER KEDUA

Rindiyati mei cayo
Chapter #44

Luka yang Tak Terlihat

Dira mengira setelah konfrontasi itu, segalanya akan terasa lebih ringan. Tapi ternyata, luka yang bertahun-tahun dia pendam itu tak semudah itu sembuh hanya karena dia berani berhadapan dengan pelakunya.


Pagi itu, Dira duduk di meja makan dengan tatapan kosong. Piring di hadapannya tak tersentuh. Andra memperhatikan dari kejauhan, memegang secangkir kopi yang tak disentuh sejak tadi.


“Dira…” ucap Andra pelan. “Kalau kamu mau cerita, aku di sini.”


Dira tersenyum samar, tapi senyum itu rapuh. “Aku kira, setelah aku tatap dia… aku akan merasa bebas. Tapi ternyata, rasa sesak itu belum pergi.”


“Trauma nggak pergi hanya karena kita berani melawan,” jawab Andra lembut. “Tapi kamu sudah mengambil langkah besar. Kamu sudah luar biasa, Dira.”


Dira mengangguk pelan. Air matanya jatuh begitu saja, tanpa suara. Ia cepat-cepat menyekanya, seolah tak ingin terlihat rapuh. Tapi di mata Andra, Dira justru sedang menunjukkan keberanian terbesarnya.


“Dia tetap menyangkal semuanya,” gumam Dira. “Dia bilang aku berhalusinasi. Bahwa aku hanya anak kecil yang salah paham…”


Andra menggenggam tangan Dira. Hangat. Kuat. “Orang yang berusaha menutupi dosanya biasanya akan membuat korbannya meragukan kenyataan. Tapi kamu tahu apa yang kamu alami, dan aku percaya kamu. Aku ada di sini untuk kamu.”



---


Di luar, hujan turun perlahan. Dan saat itu, Dira memutuskan untuk membuka buku catatannya. Selama ini, ia tak pernah benar-benar menulis tentang masa lalunya. Tapi malam itu, tangannya mengalir tanpa henti.

Lihat selengkapnya