Hujan turun deras saat Andra berdiri di depan makam kecil itu. Tangan kirinya menggenggam payung, sementara tangan kanannya gemetar, menggenggam setangkai bunga melati yang sudah separuh layu. Suasana TPU sore itu kosong. Hanya suara hujan dan sesekali angin yang berhembus dingin, menusuk hingga ke tulang.
“Maaf aku telat... Dira.” Suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh suara gemuruh awan.
Dira tak pernah benar-benar pergi—setidaknya dalam kenangan Andra. Namun ia kini hanya bisa hadir dalam bunga yang layu, dalam catatan kenangan yang tak bisa dihapus. Ia pernah begitu dekat, namun kini tak tergapai, tak tersentuh, tak terpeluk lagi.
Beberapa bulan lalu, mereka memang pernah saling mencintai diam-diam. Saling tatap, saling senyum, saling rindu yang hanya dipendam, hingga akhirnya Dira memutuskan pergi dari kehidupan Andra. Ia tak sanggup menjadi bayang-bayang dalam luka rumah tangga orang.
Ketika semuanya hampir benar, semesta seperti tak mengizinkan. Setelah konfrontasi hebat antara Dira dan Rama, Dira memilih pergi. Bukan karena lemah, tapi karena kuat. Terlalu kuat untuk bertahan di hubungan yang tak pernah jadi miliknya sepenuhnya.
Andra menyusul. Tapi terlambat. Dira sudah pergi jauh, membawa putri kecilnya, menutup semua akses, dan meninggalkan hanya satu surat di balik pintu rumah kontrakannya:
> “Aku bukan perempuan yang kau bisa selamatkan, Andra. Kau sudah terlambat menyadari, dan aku terlalu lama menyakiti diriku sendiri hanya karena berharap. Jaga dirimu. Jangan cari aku. Aku ingin kau bahagia, meski tanpaku. —Dira”