Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #3

BADAI YANG MENGHANTAM

Selepas mengerjakan salat Magrib, dengan baju yang baru diambil dari lemari, ditambah dengan beberapa semprot parfum yang sedikit mahal, Mila bersiap di ruang tamu untuk menunggu suaminya pulang. Gurat lelah dan kantung mata yang semakin menghitam, masih tampak jelas di wajahnya meski telah ia pulas dengan bedak. Saat bercermin, Mila sebenarnya sadar jika kini wajahnya terlihat jauh lebih tua dari usianya. Keriput yang dulu tak ia pedulikan keberadaannya, kini semakin hari tampak semakin banyak. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Karena jatah uang belanja yang diberikan oleh suaminya selalu habis digunakan untuk membeli kebutuhan harian.

Suara deru mobil Agus mengembalikan kesadaran Mila. Ia segera berdiri dan melangkah menuju beranda rumah menyambut suaminya. Seutas senyum khas yang dimiliki Mila, segera bertengger di bibirnya. Sontak saja, dua buah lubang di pipi Mila, terbit karena pemiliknya melakukan itu. Begitu turun dari mobil, Mila segera sigap membawakan tas yang tampak kesusahan dibawa oleh suaminya. Tanpa sempat berterima kasih, Agus kembali masuk ke dalam mobil untuk mengambil berkas dari kasus perceraian yang ditanganinya hari ini.

Agus adalah seorang pengacara perceraian. Untuk seorang pengacara yang sudah senior, klien yang dimiliki Agus tergolong banyak. Mila mengetahui hal itu dari setiap telepon yang disetel dengan mode pengeras oleh Agus. Namun Mila tak pernah tahu, Agus bisa mendapatkan klien sebanyak itu dari mana. Karena Agus bukanlah pengacara resmi yang berkantor di pengadilan agama.

Mila sendiri juga tak pernah berani menanyakan hal itu pada suaminya. Sedangkan Agus sendiri juga tak pernah bercerita detail tentang pekerjaannya pada Mila. Namun yang paling masuk akal di pikiran Mila adalah Agus mendapatkan klien berdasarkan rekomendasi dari kliennya yang terdahulu. Karenanya, hingga kini, Mila meyakinkan dirinya, bahwa semua yang terjadi memang seperti yang ada di pikirannya.

 Meski memiliki klien yang banyak, tetapi Mila merasa uang belanja yang diberi oleh Agus, besarnya tetap. Tak ada kenaikan yang signifikan sejak karier Agus yang meningkat beberapa tahun belakangan, karena kesuksesannya memenangkan kasus terkenal yang menimpa salah satu pegawai pengadilan yang dituduh selingkuh. Uang belanja yang diterima Mila bahkan tak cukup untuk membeli keperluan sekunder pribadinya. Tak jarang, Mila bahkan mengajak putrinya untuk menghemat lauk yang telah dihidangkannya, supaya bisa dimakan beberapa kali. Sekali lagi, Mila tak masalah dengan apa pun keputusan Agus. Bagi Mila selama Agus tetap mencukupi keperluan keluarga kecil mereka, itu sama sekali tak masalah.

 Seusai mandi dan membersihkan diri, Agus segera duduk di meja makan. Dengan sigap, Mila yang sejak tadi menunggunya, segera mengambilkan nasi dari alat penanak nasi yang ada di dapur, ke piring Agus yang telah ia siapkan di meja makan. Asap mengepul dari piring Agus yang baru saja diletakkan di meja makan oleh Mila. Ia lalu menyiramkan sayur bayam yang juga masih hangat di atas nasi. Tak lupa, Mila juga mengambilkan dua buah lele goreng dengan ukuran lumayan besar di piring yang terpisah, supaya Agus tak kesusahan saat memakannya.

Setelah makanan Agus siap, Mila pamit untuk memanggil Kania, supaya mereka bisa makan malam bersama. Makan malam ini menjadi agenda wajib bagi keluarga mereka. Sejak masuk SMA, Kania jarang bisa ikut sarapan dengan kedua orang tuanya, karena harus berangkat lebih pagi. Jadi kesempatan mereka bisa berkumpul dengan formasi lengkap hanya pada saat makan malam seperti ini.

“Aku panggil Kania dulu, Mas,” pamit Mila pada Agus, yang hanya dijawab dengan anggukan.

 Agus bahkan tak melirik satu inci pun ke arah istrinya. Ia tetap masih fokus pada ponsel di tangannya, mengetik pesan sambil tersenyum, entah pada siapa. Mila paham jika suaminya sedang fokus pada ponselnya, tandanya ia sedang bekerja.

Mungkin suaminya baru saja deal dengan calon klien baru.

Sekali lagi, Mila hanya bisa mengira-ngira dalam pikiran saja.

Sesampainya di depan kamar Kania, Mila segera mengetuk pintu yang bercat warna cokelat muda dan bertuliskan nama putrinya. Dari dalam kamar, Kania menyahut panggilan Mila, dengan malas, seperti biasa.

“Bentar, Bu. Nanti aku menyusul. Nanggung masih satu soal lagi,” teriak Kania tanpa mempersilakan ibunya masuk.

Mila mengembuskan napas, sedikit jengkel dengan kelakuan Kania akhir-akhir ini. Namun Mila berusaha sabar. Ia lalu meminta izin pada putrinya untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Iya, Bu, masuk saja.”

Mila berusaha keras untuk tak bereaksi berlebihan saat melihat betapa berantakannya kamar Kania. Mila merasa heran, bukankah setiap hari ia juga membersihkan kamar Kania. Apakah putrinya itu tak merasa risi dengan kondisi kamar yang kotor seperti ini. Bukankah akan menjadi tidak nyaman belajar dengan kondisi seperti ini. Namun pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa ia pendam dalam hati.

Mila hanya tak mau mengganggu konsentrasi putrinya yang kini sudah duduk di tingkat akhir. Padatnya kegiatan belajar untuk ujian kelulusan, ditambah ujian masuk universitas yang harus disiapkan dari jauh hari, pasti sudah membuat pikiran Kania penuh. Mila tak mau omelannya yang tak penting, membuat Kania tak fokus belajar.

“Mbak, ayo kita makan dulu. Sebentar saja,” ucap Mila sesaat setelah duduk di tepi ranjang Kania yang seprei dan selimutnya berantakan. “Setelah itu kamu bisa lanjut mengerjakan tugas lagi.”

Lihat selengkapnya