Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #4

UJIAN HIDUP

Seketika Mila merasa limbung. Ia jatuh terduduk di samping meja makan. Air mata yang biasanya sanggup ia tahan, kini mulai berjatuhan tak terkendali. Kedua tangan Mila menekan dadanya yang terasa sesak. Karena tak sanggup mengecilkan suara tangisnya, Mila memindahkan tangannya untuk menutup mulutnya. Bahunya kini bergetar hebat, bersusulan dengan air mata yang semakin deras. Mila tak lagi peduli dengan riasan yang luntur dari wajahnya karena tangis hebatnya.

  Benarkah aku mengulang takdir seperti ini? Jika benar, bukankah aku sudah memperbaiki semua hal yang diperbuat Ibu dulu? Bukankah selama ini aku sudah cukup baik dalam menjalankan peran sebagai istri dan Ibu? Mengapa aku tetap mendapatkan hasil yang sama dengan yang didapat Ibu?

 Berbagai tanya, saling berkelebat dalam pikiran Mila. Tak segan, ia juga menyalahkan Tuhan atas takdir buruk yang baru saja ia terima. Ia benar-benar merasa diperlakukan tak adil oleh Tuhan. Mila merasa dicurangi lebih tepatnya.

  Mengapa dengan usaha yang lebih keras, aku mendapat hasil yang sama dengan Ibu?

 Pertanyaan itu memantul keras di seluruh dinding pikiran Mila. Meretakkan seluruh kepercayaan seratus persen yang telah ia bangun pada suaminya. Meluruhkan seluruh harapan akan masa depan yang lebih baik pada Tuhan.

Dengan mata yang memerah, Mila mendongak saat mendengar suara pintu kamar mandi dibuka. Dengan sisa tenaga yang masih dipunyainya, Mila segera berlari ke arah suaminya. Ia mendorong ponsel Agus tepat di dadanya. Tak lupa, Mila juga menggumamkan bukti pesan yang tak sengaja ia baca dari ponsel yang selalu tergeletak itu.

“Ini apa, Mas?” Sekuat tenaga, Mila menahan tangisnya, supaya kalimat yang diucapkannya, tak tercampur dengan isak dan bisa dimengerti oleh suaminya. “Tolong beri aku penjelasan yang masuk akal tentang ini semua. Supaya aku nggak menyalah artikan ini dengan sesuatu yang lain.”

Agus menelan ludah. Raut wajahnya berubah pucat. Ia berulang kali mengusap wajahnya yang masih basah, karena belum sempat dikeringkan setelah mandi. Agus tak bisa membela diri. Tampaknya apa yang ada di pikiran Mila, semuanya benar.

  “Maafkan Ayah, Bu.”

   Kalimat singkat dari Agus berhasil membuat Mila kehilangan kesadaran.

 

***

Beberapa menit kemudian, Mila siuman. Saat berusaha bangun dari tempat tidur, Mila merasa semua yang ada di sekitarnya berputar dengan kencang. Refleks Mila mengernyit sembari memegang kepalanya. Belum hilang sakit di kepalanya, karena semua benda di sekelilingnya seperti berputar, kali ini Mila merasa seperti mendengar suara drum yang dibunyikan tepat di dekat telinganya. Hal itu membuat telinga Mila seperti pecah. Sembari berteriak dengan keras, kedua tangannya beralih dari kepala, menekan bagian telinga.

Mila menekuk lutut sambil terus menangis keras seperti manusia yang diambil alih kesadarannya oleh makhluk tak kasat mata. Sementara Agus yang sejak tadi diinginkan Mila bisa hadir di sampingnya, malah tak tampak batang hidungnya. Karena tak kuat dengan sakit di bagian kepala dan telinga, Mila beralih posisi menjadi rebah. Hal itu membuat secarik kertas di samping bantal yang ia gunakan jadi semakin bergeser ke tempatnya.

Dengan mata menyipit menahan sakit, Mila membaca tulisan di kertas itu.

Kalau sudah bangun, minum teh hangat yang sudah kubuatkan, ya, Bu. Kalau kamu cari Ayah, Ayah sudah berangkat ke sekolah Kania. Kasihan Kania kalau nggak ada satu pun dari kita yang datang. Nanti malam kita bicara lagi.

Dengan geram, Mila meremas kertas kecil itu dan melemparnya hingga menatap tembok kamarnya yang sempit. Air matanya ternyata belum juga kering, padahal seingatnya tadi, ia telah banyak menangis. Atau memang semua manusia normal memiliki stok air mata sebanyak ini, yang bisa dikeluarkan dalam sehari.

Mila tak pernah tahu akan hal itu, karena biasanya ia pandai menahan tangis. Kini kemampuan yang dulu tak dianggapnya itu, teramat dirindukannya. Hatinya yang remuk redam sungguh menginginkan matanya terpejam. Namun ia bahkan tak memiliki kuasa atas tubuhnya untuk menghentikan air mata yang terus mengalir deras di pipinya. Pada akhirnya, hanya isaknya yang menyayat hati yang bisa dijadikan teman olehnya.

 

***

Saat bangun dari tidur untuk kedua kalinya, Mila merasa pusing di kepalanya sudah banyak berkurang. Benda yang tadi seperti berputar di sekelilingnya, kini normal kembali berada di tempatnya. Ia melihat jendela yang kini telah ditutup gordennya. Mila menebak ini sudah masuk waktu Magrib. Tampaknya Agus juga sudah berada di rumah. Suara denting piring dan sendok dari yang saling bersahutan di luar kamar, kini bisa didengar oleh Mila.

Lihat selengkapnya