Mila berterima kasih pada wanita berjilbab abu-abu bercorak bunga, yang baru saja memberinya tempat duduk. Tak lupa ia juga menyapa beberapa orang lain yang sedang terlibat obrolan dengan wanita itu. Wanita itu membalas Mila dengan tersenyum ramah. Tak lupa ia juga memperkenalkan diri pada Mila.
“Saya Vina, Bu,” ucap wanita itu, sembari mengulurkan tangannya pada Mila. “Ibu pasien baru, ya?”
Barulah Mila mengingatnya sekarang. Wanita ini adalah Bu Vina yang dimaksud oleh suster Sri, di pertemuan pertama mereka dua minggu lalu.
“Benar, Bu. Saya Mila,” jawab Mila menyambut salam Vina.
Vina kemudian memperkenalkan teman-teman lain yang sedang bersamanya. Mila mengangguk, sembari berusaha terlihat ramah.
“Ibu sakitnya apa?” tanya wanita berjilbab kaos berwarna putih yang duduk di samping Vina. Namanya adalah Lita. Ia mempunyai pembawaan yang ceria. Wajahnya hampir mirip seperti Vina. Mila hampir tak bisa membedakannya. Bisa dibilang Lita adalah Vina versi ceria.
“Bu Lita ini memang ceplas-ceplos orangnya, Bu,” timpal Vina seraya menepuk pundak Lita. “Masak orang baru datang, langsung ditanyai sakitnya apa.”
Lita tertawa karenanya. “Saya ini orangnya nggak suka basa-basi soalnya, Bu,” jawab Lita dengan ekspresi yang serius.
Situasi apa ini? Mengapa sekarang aku merasa seperti sedang diospek?
Melihat raut wajah Mila yang cemas, Vina segera mencairkan suasana. Ia berusaha menengahi bahwa memang beginilah caranya dan teman-teman yang lain menyapa pasien baru.
“Ini adalah salah satu cara kita supaya nggak spaneng dengan penyakit yang menempel di tubuh kita, Bu Mila,” jelas Vina.
“Benar, Bu Mila, tadi saya cuma bercanda saja,” timpal Lita. “Biar nggak lemas kayak Bu Ninuk ini,” tambahnya sembari menepuk lembut paha wanita yang lebih tua dari mereka, dan memakai penutup kepala.
“Benar, semangat dong, Bu Ninuk. Kan tinggal dua kali lagi kemonya. Setelah itu bisa operasi.” Vina lalu ikut menepuk lengan Bu Ninuk. Tak lupa ia mengangkat lengannya hingga sejajar dengan bahu, membuat gerakan semangat.
Seorang wanita muda yang duduk di samping Bu Ninuk lalu mengulangi perkataan Vina. Ia menyemangati ibunya yang tampak mulai lelah dengan semua proses pengobatan yang dijalaninya.
Apakah hubungan Ibu dan anak yang hangat memang selalu seperti itu?
Mila merasa dirinya dulu tak pernah sedekat itu dengan Ibu. Kania juga tak pernah sebebas itu jika berinteraksi dengan dirinya. Segan. Kata itu yang selalu memisahkan hubungan antara Ibu dan anak di keluarga Mila dalam tiga generasi.
“Jadi kata Dokter Andre Bu Mila ini sakit apa?” Pertanyaan Vina menyadarkan Mila akan lamunannya.
“Saya divonis kanker payudara stadium dua, Bu Vina.”
Ada hening beberapa saat setelah Mila menjawab pertanyaan Vina sedikit terlalu cepat.
“Pasti kaget banget ya, Tan, waktu pertama kali tahu vonis dokter?” Aisyah, putri Bu Ninuk ikut menimpali.
Mila mengangguk. “Ya, begitulah, Mbak.” Ia lalu menghela napas panjang. “Tapi saya lebih ke bingung tentang masa depan sih.” Mila tertawa sumbang, untuk menutupi kesedihan.
“Bu Mila nggak perlu bingung tentang masa depan yang belum tentu terjadi,” sambung Lita. “Ibu nggak sendiri. Kita semua yang ada di sini juga sama-sama berjuang untuk sembuh,” lanjutnya sembari merentangkan tangannya lebar-lebar, menunjuk semua pasien yang ada di ruang tunggu.
Vina, Aisyah, dan Bu Ninik yang terlihat lemas duduk di kursi roda ikut mengamini perkataan Lita.
“Pokoknya sebisa mungkin Bu Mila harus happy. Nggak perlu jadi beban. Semua penyakit itu salah satu obatnya ya, dari bahagia yang kita rasa dari dalam diri kita.”