Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #8

WANITA TANGGUH

Tak hanya Mila dan Lita saja yang berusaha masuk ke dalam ruang periksa. Hampir semua pasien yang duduk di ruang tunggu, juga melakukan hal yang sama. Sehingga meski Mila kini berada di depan pintu ruang periksa, tetapi ia tetap tak mengetahui siapa yang pingsan. Perkara ini penting sekali bagi Mila. Karena dua pasien dari sepuluh pasien yang ada di dalam adalah temannya. Suster Sri segera maju dan bersiap menutup pintu ruang periksa, supaya tak terjadi hal yang tak diinginkan. Mila yang kebetulan berada di dekat suster Sri, memberanikan diri untuk bertanya.

“Siapa yang pingsan, Sus?”

“Bu Ninuk, Bu. Maaf ya, saya tutup dulu pintunya,” jawab suster Sri sembari terburu-buru menutup pintu.

Raut wajah Lita berubah khawatir. Melihat hal itu, Mila kemudian berusaha menenangkannya. “Ayo kita duduk lagi, Bu. Para suster pasti bisa menghadapi situasi di dalam dengan baik.”

Lita menurut. Dengan pandangan mata yang kosong, dan dituntun oleh Mila, ia akhirnya berhasil duduk di kursi yang paling dekat dengan ruang periksa tadi. Mila lalu memberikan botol minum yang dibawanya, tetapi belum sempat dibuka, pada Lita yang menurutnya lebih membutuhkan.

“Terima kasih, Bu Mila,” jawab Lita lirih. Ia langsung membuka tutup botol yang diberikan oleh Mila, lalu meminumnya.

Setelah menenggak habis minuman itu, barulah semangat Lita sedikit kembali. “Stadium Bu Ninuk dan Bu Vina itu sebenarnya masih lebih tinggi Bu Vina, Bu.”

Mila terkejut. Ia refleks membelalakkan mata, alisnya seketika berkerut. “Memangnya Bu Ninuk dan Bu Vina itu stadium berapa, Bu Lita?”

“Bu Ninuk stadium tiga, sedang Bu Vina stadium empat.” Lita mengembuskan napas panjang, merasa berat dengan cerita yang akan ia bagi. “Bu Vina termasuk terlambat mengetahui penyakitnya. Jadi pas sudah terdeteksi ya sudah parah. Bahkan sekarang sudah tersebar ke paru-parunya, makanya sekarang sedang proses radiasi setelah dikemo sebanyak ... sepuluh kali kalau nggak salah.”

 Lita lalu menoleh ke arah Mila. Sembari tersenyum getir, ia bertanya sesuatu pada teman yang baru saja dikenalnya. “Sama sekali nggak kelihatan, kan?”

 Mila meluruskan duduknya, menatap tanaman gantung yang menghiasi jendela besar di dekat meja milik suster Sri. Ia hanya mengangguk, merasa terlalu bingung dan terkejut untuk memberi respons.

 “Kalau Bu Ninuk mungkin karena faktor usia, jadi beliau lebih lemah terkena efek kemo.”

 “Efek kemo itu bisa apa saja sih, Bu?” tanya Mila penasaran.

 Lita lalu menjelaskan bahwa efek samping dari perawatan kemoterapi ada berbagai macam, tergantung dosis obat kemoterapi yang diberikan dan tingkat toleransi terhadap rasa sakit pada masing-masing pasien.

“Tapi kebanyakan sih efek samping dari kemoterapi itu biasanya mual, muntah, lemas, rambut rontok, kebas di tangan atau kaki, begitu, Bu Mila.”

Lita kemudian menenangkan Mila. “Tapi Bu Mila tenang saja, kan belum tentu juga Bu Mila menjalani kemo. Fokus saja sama yang akan dihadapi dalam waktu dekat.”

“Iya, terima kasih, Bu Lita.” Mila tersenyum, dalam hati ia sungguh bersyukur telah dipertemukan dengan lingkungan yang baik.

Mila lalu menyambung pembahasan selanjutnya, tentang awal mula Vina divonis kanker payudara.

“Bu Vina itu single parent, Bu. Sejak suaminya meninggal, dia terpaksa jalanin dua peran sekaligus. Untungnya sebelum suaminya meninggal, Bu Vina ini sudah punya bisnis sampingan. Setelah suaminya meninggal, bisnis itulah menghidupi keluarga mereka sampai sekarang.”

Mila merasa ikut hanyut dengan kesedihan cerita hidup Vina. “Mungkin Bu Vina kecapekan ya, Bu? Harus mengurus keluarga, bisnisnya, dan lagi organisasi yang dia ikuti, dalam waktu yang bersamaan.”

Lihat selengkapnya