Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #12

SUARA HATI KANIA

Pintu depan yang terkunci membuat Kania bertanya-tanya, ke mana Ibu pergi. Namun ia memilih menyimpan tanyanya dalam hati, dan segera membuka pintu menggunakan kunci cadangan miliknya, yang selalu ia bawa ke mana pun. Sesampainya di dalam rumah yang masih beraroma bronis, Kania segera berjalan menuju dapur.

“Bu ... Kania pulang!” serunya.

Namun tak seperti biasa, tak ada jawaban sama sekali. Ibunya tak tampak di dapur atau di ruang makan. Ia melihat dapur rumahnya dalam keadaan bersih, sangat berbeda dari tadi pagi. Bahkan meja makan yang telah ia lewati sebelumnya juga bersih dari makanan satu pun. Padahal Kania sudah lapar sekali, ingin segera makan di rumah. Hari ini Kania pulang siang, karena tak ada jadwal les di luar. Hal itu sengaja dilakukan oleh pihak manajemen tempat les Kania, untuk mempersiapkan mental sebaik mungkin. Karena hasil pengumuman penerimaan masuk universitas akan diakses mulai nanti malam.

Kania lalu mengetuk pintu kamar Ibu. Masih nihil tak ada jawaban. Karena merasa sangat lapar, Kania akhirnya membuka lemari pendingin, siapa tahu di dalam sana ia bisa menemukan sesuatu yang bisa membuat laparnya terganjal. Kania jadi merasa rindu saat meja makannya selalu melimpah dengan makanan. Karena sependek ingatan Kania, kini tak pernah lagi meja makannya dalam keadaan penuh seperti dulu. Ibu hanya menyiapkan makanan sedikit sesuai kebutuhan mereka berdua.

Dalam hal ini sebenarnya Kania tahu bahwa yang menyebabkan itu semua adalah Ayah. Kini ia tak pernah lagi melihat ayahnya di rumah. Sejak dulu Kania memang tak pernah mempermasalahkan sang Ayah yang beberapa kali dalam sebulan, selalu ada jadwal pekerjaan di luar kota. Karena paling tidak, durasi pekerjaannya memang tak pernah lama. Biasanya maksimal hanya tiga hari. Di hari ke empat, sang Ayah sudah berada di rumah kembali. Namun beberapa bulan terakhir, hal itu tak pernah terjadi lagi.

Kania sebenarnya ingin bertanya tentang kejelasan akan hal ini pada Ibu. Beberapa bulan terakhir ini, Kania sudah berusaha meyakinkan dirinya untuk berpikir positif, bahwa memang ayahnya bekerja lebih keras untuk mempersiapkan biayanya masuk kuliah. Namun tampaknya, per hari ini stok pikiran positifnya sepertinya telah habis. Pikirannya tak bisa lagi memberi penjelasan yang masuk akal tentang fenomena ini. Dalam hati Kania hanya berdoa supaya kemungkinan terburuk yang beberapa kali sempat terlintas di pikirannya tak pernah terjadi. 

Di dalam lemari pendingin, Kania menemukan sisa bronis yang masih lumayan banyak jumlahnya. Karena tak kuat menahan lapar yang semakin menusuk organ pencernaannya, Kania akhirnya memakan bronis detik itu juga. Setelah satu potong bronis telah habis, Kania sedikit bisa berpikir jernih. Pikirannya kemudian mengingat sesuatu tentang pembicaraannya dengan Ibu tadi pagi. Hal ini ada kaitannya dengan petunjuk keberadaan Ibu.

Ibu pasti berada di rumah Tante Nimas, untuk membantunya menyiapkan acara arisan yang dibicarakan Ibu tadi pagi.

Kania diguyur rasa lega yang luar biasa karena hal itu. Ia lalu mengambil tiga potong bronis lagi untuk ia bawa ke dalam kamarnya. Sekarang setelah rasa laparnya terobati, terbitlah rasa kantuk luar biasa yang ingin bertemu kasur dengan segera sebagai penawarnya. Kania ingin segera tidur siang detik ini juga.

***

Kania terbangun saat mendengar azan yang berkumandang. Ia membuka sebelah matanya, mengarahkannya ke gorden yang masih terbuka. Di balik gorden itu, terlihat pemandangan luar masih jelas, tanda matahari belum berganti sif dengan bulan. Kania lalu memaksakan dirinya untuk beranjak dari kasur, bantal dan gulingnya yang empuk. Sekuat tenaga Kania mengumpulkan energi untuk berjalan ke luar dari kamar.

Sesampainya di ruang tengah, ia baru menyadari bahwa sejak tadi ia belum mengganti baju seragamnya. Namun bukan itu yang penting sekarang. Kania tetap tak mendapati Ibu di mana pun. Berbagai pikiran jelek pun melintas di pikirannya. Ibu kini dalam kondisi lemah karena sesak napas yang bisa menyerangnya kapan saja. Sang Ibu sejak pagi juga sudah bergelut dengan adonan bronis. Dan hingga sore ini Ibu masih belum menampakkan diri di rumah.

Ke mana Ibu pergi?

Untuk menjawab rasa penasarannya atas jawaban dari pertanyaan itu, Kania lalu bergegas keluar rumah. tujuan utamanya adalah jelas, rumah Tante Nimas, tetangga dalam satu deret blok ini. Karena tadi pagi Ibu bilang bahwa bronis ini adalah untuk acara arisan yang digelar di rumah tetangga.

Namun betapa terkejutnya Kania saat berada di depan rumah tetangganya, ternyata rumah bercat warna biru muda itu, tak ada tanda-tanda menggelar sebuah acara seperti yang dipamitkan Ibu. Level kekhawatiran yang dirasakan Kania semakin meningkat. Tak ada lagi lapar yang sempat ia rasakan setelah bangun tidur tadi. Yang ingin ia tahu adalah jawaban tentang di mana Ibu berada saat ini. Kania semakin frustrasi karena pikirannya sama sekali tak memberi opsi jawaban tentang hal itu sama sekali.

Kemudian di saat yang sama, dari depan rumah tetangganya yang terletak di ujung blok, Kania bisa melihat ada sebuah mobil kecil berwarna putih yang baru saja masuk ke dalam gang rumahnya, berhenti tepat di depan rumahnya. Beberapa detik kemudian, sang Ibu keluar dari mobil putih itu, disusul dengan dua orang Ibu-ibu yang tampaknya juga seumur dengan Ibu. Dari jauh, Kania bisa mengenali satu orang yang berada di samping Ibu. Dia adalah Bu Ambar, penjual sayur langganan Ibu. Namun saat berusaha mengenali orang yang lain, Kania tak bisa.

 Kondisi seperti apa yang sebenarnya terjadi saat ini?

Lihat selengkapnya