Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #13

RETAKNYA SEBUAH KEPERCAYAAN

Hati Mila seperti diremas dengan kekuatan tak terlihat yang sangat besar, terasa sakit luar biasa, saat melihat Kania masuk ke kamarnya, di tengah perdebatan hebat mereka. Mila menutupi wajahnya yang basah dengan air mata. Bahunya bergetar hebat seiring dengan tangis yang tak kunjung reda. Ia berjingkat singkat, menatap ke arah suara pintu yang dibanting terlalu keras oleh putrinya. Pikirannya kemudian mulai mengingat kejadian yang menurutnya dejavu ini. Agus juga selalu memilih pergi, menggantungkan masalah, dan berujung membanting pintu saat berdebat dengannya.

Mila kembali merutuk diri sendiri. Mengapa hal yang ia lakukan untuk keluarganya selalu berakhir dengan kesalahan? Padahal ia telah berusaha melakukan yang terbaik dan bahkan berkorban banyak hal dalam mengambil keputusan yang tak mudah. Padahal ia selalu berusaha menghindari kesalahan yang dibuat ibunya dulu.

Mengapa hasilnya selalu sama dengan Ibu, Tuhan?

Lagi-lagi Mila menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi padanya. Seluruh kepercayaan dirinya yang meningkat pesat sejak banyak peserta yang membeli bronisnya tadi, kini terjun bebas. Mila kembali menjadi dirinya yang penuh dengan rasa putus asa dan senang menyalahkan diri sendiri, bahkan Tuhan.

Mila kemudian melangkah masuk ke kamarnya. Semua bawaan yang ia dapat dari rumah sakit, tergeletak tak beraturan di samping meja makan. Mila juga tak sempat membawa serta ponselnya yang masih tersimpan di dalam tas. Sesampainya di kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya yang semakin kurus, di atas kasur. Kelelahan yang menumpuk sepanjang hari ini, baru bisa ia rasakan sekarang. Fisiknya tak kuat untuk sekadar mandi atau berganti baju untuk membuatnya lebih segar. Yang ada di pikiran Mila saat ini adalah bagaimana cara supaya semua ledakan masalah di kepalanya, bisa segera hilang.  

***

Esoknya Mila bangun lebih siang. Jam di nakasnya menunjukkan pukul setengah tujuh. Meski kepalanya terasa masih sedikit berat, Mila memaksakan diri untuk berjalan keluar kamar. Mila ingin memeriksa apakah Kania sudah berangkat atau belum. Ternyata ia mendapati garasi rumahnya telah kosong. Kania benar-benar sudah berangkat. Ia bahkan belum bertemu dengannya pagi ini, belum memasakkan sarapan ringan dan bekal makan siang untuknya, karena hari ini Kania ada jadwal les.

Aku benar-benar Ibu yang buruk.

Di tengah kondisinya yang sedang menyalahkan diri sendiri, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Awalnya Mila kebingungan, di mana ia menyimpan ponselnya. Ia benar-benar lupa menyimpan ponselnya di mana karena tak ada tenaga untuk membersihkan seluruh bawaannya. Namun sesuatu yang bergetar dari dalam tasnya akhirnya berhasil menjawab kebingungannya.

Nama Vina muncul di layar ponsel yang baterainya berwarna merah, waktunya dicas. Mila kemudian mengangkat telepon itu dan berencana untuk mengobrol sebentar saja dengan Vina.

“Pagi, Bu Vina. Ada apa?”

Entah mengapa Vina terdengar begitu lega. Embusan napasnya terdengar keras hingga sedikit menyakitkan di telinga Mila.

“Bu Mila nggak apa-apa, kan? Saya dengar dari Bu Ambar katanya kemarin ada sedikit masalah, setelah saya pulang.” Vina memotong kalimatnya, ia terdengar sedikit ragu melanjutkan pembicaraan. “Tapi waktu saya tanya Bu Ambar, beliau bilang nggak tahu. Saya khawatir banget, Bu Mila.” 

Ternyata seperti ini rasanya dikhawatirkan oleh orang lain.

“Saya nggak apa-apa, Bu Vina,” jawab Mila menenangkan.

Sejujurnya dalam hati kecil yang paling dalam, Mila juga butuh teman cerita yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Teman bercerita yang bisa memberinya gambaran dari sisi berbeda. Namun untuk saat ini Mila memilih menyimpan cerita tentang keluarganya yang hancur berantakan. Bukan karena ia malu, atau karena ia baru mengenal Vina. Karena saat ini Mila masih dalam keadaan lelah. Jiwanya tak kuat melakukan itu. Karena Bagi Mila menceritakan hal berat seperti itu membutuhkan tenaga yang ekstra. Masalah yang datang ke dalam hidupnya tak hanya satu lapis, tetapi berlapis-lapis, dan datang dalam waktu yang bersamaan.

“Cuma anak saya itu khawatir kok ibunya nggak pulang-pulang.” Mila berbohong.

Lihat selengkapnya