Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #14

TUMPUKAN LUKA KANIA

Kania memutuskan bangkit dari kasur saat melihat jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul tiga dini hari. Sebenarnya sekarang Kania merasa sangat mengantuk, karena semalaman ia sama sekali tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Sudah menjadi ciri khas Kania, saat ada masalah, ia selalu tak bisa menggunakan waktu istirahatnya dengan benar. Waktu istirahat malamnya justru ia gunakan untuk memikirkan dan merenung tentang permasalahan yang menyerangnya. Namun lucunya, hingga dini hari atau pagi datang, masalah itu tak juga dipertemukan dengan solusinya.

Kania mengendap keluar kamarnya karena tak ingin membuat keributan. Lebih tepatnya Kania menghindar, dan tak ingin bertemu dengan Ibu. Karenanya ia berusaha bangun dan berangkat sekolah lebih pagi. Kania masih merasa kecewa dengan Ibu. Ia tak habis pikir, apa alasan Ibu merahasiakan hal sepenting itu dari anaknya sendiri.

Padahal beberapa waktu ini Kania senang karena hubungannya dan Ibu mencair. Lewat hubungan itu, Kania sempat merasa punya teman yang bisa dipercaya dan mempercayainya, di tengah semua kondisi yang menyerang pikirannya dan membuatnya terimpit serta kecewa. Namun ternyata hanya dirinya yang menganggap Ibu dapat dipercaya dan bisa mempercayainya. Ternyata Ibu tak cukup bisa mempercayainya, anaknya sendiri. Kania yakin, hubungannya yang rusak dengan Ibu kali ini, tak akan mudah diperbaiki. 

Kania baru selesai berganti baju. Setelah mengenakan kerudung cokelat yang senada dengan seragam yang ia kenakan hari ini, Kania segera bersiap untuk berangkat sekolah. Kania memacu motor hitamnya bahkan saat azan Subuh belum berkumandang. Sepanjang menyusuri jalanan yang dingin, Kania tak peduli jika pintu gerbang sekolahnya belum dibuka saat ia sampai sekolah. Ia bisa menunggu di supermarket yang buka dua puluh empat jam yang berada di dekat sekolahnya.

Aku akan lakukan apa pun asal tak bertemu Ibu. 

***

Kania sampai di area dekat sekolah saat para jemaah Subuh baru saja turun dari masjid. Sesampainya di halaman parkir supermarket yang hanya berisi dua motor dan satu mobil, Kania segera memarkir motornya di sana. Karena tubuhnya masih terasa dingin, ia memutuskan untuk tetap memakai jaketnya masuk ke dalam supermarket. Ia sempat terkejut saat memasuki supermarket, karena udara di dalam, justru lebih hangat daripada di luar.

Kania menelusuri area rak makanan instan, dan mengambil mi instan dalam kemasan cup. Ia memilih rasa pedas dengan level tertinggi. Harapannya, rasa pedas itu bisa membakar habis beban pikiran yang saling bertumpuk di kepalanya. Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju area dekat jendela kaca transparan, yang berisi berbagai macam kopi dan teh kemasan siap seduh.

Meski tak pernah menyukai kopi, Kania memilih mengambil kopi supaya bisa membuatnya terjaga sepanjang hari ini. Tentunya sebelum itu Kania telah melakukan pengecekan terhadap kandungan kafein dalam masing-masing kopi yang ada di rak itu. Kania mengambil kopi dengan kandungan kafein paling ringan, sambil terus berdoa dalam hati, supaya manjur membuat kantuknya pergi.

Setelah membayar seluruh belanjaannya, Kania lalu menyeduh kopi dan mi instan itu dengan air panas yang telah disediakan di dekat rak kopi yang tadi ia kunjungi. Hangat yang merambat di tangannya saat ia menggenggam kemasan mi instan itu, membuatnya sedikit tenang. Kania semakin mengeratkan genggamannya sambil memejamkan mata, berharap ketenangan yang dirasakannya bertahan sedikit lebih lama, dan bisa membuat semua beban yang ditanggungnya lenyap.

Bayangan Ayah yang selalu terpaku menatap ponsel, membayang di pelupuk mata Kania. Bayangan itu kemudian tiba-tiba berganti menjadi layar ponsel Ayah yang menampakkan nama kontak “Bun” sedang memanggil berulang kali.

Bibir Kania bergetar. Ia bisa merasakan matanya mulai basah.

Bayangan ponsel Ayah kemudian berganti menjadi Ibu yang terbaring dengan kondisi lemah di suatu ranjang besi mirip milik rumah sakit. Kania berusaha mendekati bayangan Ibu, tetapi tak mampu.

Bahu Kania bergetar hebat. Rasa frustrasi karena tak bisa melakukan apa-apa saat melihat ibunya yang terbaring lemah, mencengkeram tubuhnya kuat.

Bayangan Ibu kemudian berganti menjadi teman-teman yang sering mengganggunya, tertawa dengan volume sangat keras hingga membuat telinganya sakit.

Kania menutup telinga sembari berteriak. Hal itu membuat kemasan mi yang digenggamnya, tumpah mengenai seragamnya. Hawa panas yang menembus kulitnya, membuat Kania tersadar.

Lihat selengkapnya