Sepanjang jalan dari ruang Bimbingan Konseling menuju halaman sekolah, Kania hanya menunduk diam, menatap langkah kakinya yang mengayun lambat. Barangkali untuk mengalihkan pikiran dari riuh di sekitar yang berbisik membicarakannya, dalam hati ia menghitung langkah itu. Di sampingnya, Mila yang sedikit lebih percaya diri dengan melihat lurus ke depan, tampak tak melakukan apa-apa untuk menghibur Kania. Sementara ini, energi Mila telah habis digunakan untuk membela Kania di hadapan guru dan teman-teman yang merundungnya.
Sekilas ia menatap putrinya. Rasa bersalah yang amat besar, tiba-tiba menghantam ulu hatinya. Dadanya sakit membayangkan berapa lama Kania menyimpan ini semua. Batin Mila terluka karena tak cukup mampu menjadi tameng pelindung bagi putrinya, satu-satunya keluarga yang dimiliki Mila.
Aku gagal menjadi seorang istri karena suamiku selingkuh hingga nikah siri.
Aku juga gagal sebagai individu karena tak bisa melindungi diri dari penyakit mematikan.
Dan kini, aku harus kembali mengakui bahwa aku juga gagal menjadi seorang Ibu karena putriku menjadi korban perundungan.
Sesampainya di halte bis di seberang sekolah, Mila mengajak Kania duduk di salah satu kursi kosong. Kania hanya mengangguk dan mengikuti langkah ibunya. Setelah mereka duduk berdampingan, tak terasa beberapa menit berlalu begitu saja. Mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing, bersama bis yang datang dan pergi beberapa kali di hadapannya.
Sejak awal, Mila memang tak berniat untuk menunggu bis. Ia hanya ingin duduk dan berharap dengan menyaksikan lalu lalang yang cukup sibuk di depannya, bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang mungkin saja terkunci di sebuah kotak yang sulit dijangkau di dalam hati mereka berdua.
“Maafkan Ibu, ya, Mbak,” ucap Mila setelah saling berdiam diri selama hampir sepuluh menit.
Kania menoleh menatap ibunya. Ia tampak terkejut, tetapi di dalam matanya yang berkaca-kaca, menunjukkan sedikit cahaya kelegaan.
Apakah kalimat ini yang selalu ditunggunya meluncur dari bibir Ibu yang tak becus melindunginya?
“Maafkan Ibu ... atas semua rasa sakit yang harus kamu pikul sendirian.”
Tangis Kania seketika luruh. Mila meraih bahu putrinya yang bergetar hebat ke dalam pelukannya. Ia menepuk lembut punggung putrinya, yang mungkin saja telah lama rindu akan kasih sayangnya. Karenanya, suara isak Kania, berdengung semakin keras di telinga Mila. Terdengar begitu menyayat hati hingga membuat hampir semua orang yang berada di halte meliriknya.
***
Setelah puas naik motor berkeliling kota, Mila mengajak Kania untuk makan siang bersama. Kania akhirnya membawa Mila di salah satu tempat makan yang akhir-akhir ini terkenal di kalangan anak muda. Setelah Kania memarkir motornya di tempat parkir yang lumayan ramai, mereka berdua kemudian berjalan memasuki tempat makan berkonsep semi outdoor yang dipenuhi dengan berbagai tanaman hias dan kolam ikan di beberapa titik. Suara gemercik air yang berasa dari kolam ikan, sangat cocok untuk mendinginkan pikiran yang sedang panas seperti yang dirasakan Mila saat ini.
Kania yang berjalan di depan Mila segera duduk di kursi kosong yang terletak di pojok ruangan, tepat berhadapan dengan kolam ikan. Sepertinya Kania terbiasa datang ke tempat makan ini. Hal itu terlihat dari gerak tubuhnya yang tak bingung dan canggung. Setelah mereka duduk, barulah salah satu pelayan mendatangi meja mereka dan memberikan buku menu.
Tanpa melihat buku menu, Kania memesan spagetti carbonara dan segelas es cokelat pada pelayan itu. Pelayan itu tersenyum dan mencatat pesanan Kania yang sepertinya tak pernah berubah. Setelah membolak-balik buku menu berulang kali, Mila baru memantapkan hati untuk memesan nasi goreng spesial dan segelas es teh. Pelayan itu lalu pamit setelah mengulang kembali pesanan mereka untuk memastikan kembali.
Sepeninggal pelayan itu, Kania tetap tak mau melihatnya. Namun dalam hati Mila tetap berharap momen ini akan berbeda bagi Kania. Karena hal seperti ini yang mungkin selalu diinginkan Kania, tetapi tak pernah diwujudkannya. Bisa pergi ke tempat-tempat baru yang menjual makanan enak bersama ibunya. Lagi-lagi sebuah penyesalan, menyusup halus ke dalam hati Mila.
Kenapa aku baru mewujudkan keinginannya dalam keadaan seperti ini?
Kenapa aku baru melakukan sesuatu setelah mengetahui rasa sakit yang dipendam Kania?
Apa Kania merasa yang kulakukan ini sia-sia, karena sudah terlambat?