Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #16

KANIA, SATU-SATUNYA

Sejak tadi, Mila berjalan bolak-balik di depan ruang tunggu. Ia juga sesekali tampak berjongkok sambil menangis menutupi wajahnya, kemudian berdiri kembali. Beberapa kali, Mila juga mengintip di sela-sela aksen kaca kecil, bagian atas pintu. Dari aksen kaca tersebut, Mila bisa melihat aktivitas dari para tenaga kesehatan yang sedang menyelamatkan nyawa putrinya. Mila sungguh merasa frustrasi dengan kondisinya saat ini. Ia ingin segera mengetahui kondisi terkini dari Kania. Bibir Mila tak berhenti merapal doa supaya Tuhan masih memberinya waktu untuk bersama dengan Kania.

Izinkan aku supaya bisa menebus kesalahanku selama ini dengan menjadi Ibu yang baik untuk Kania, Tuhan.

Vina dan Lita yang datang menemui Mila, segera menghambur memeluk temannya. Hanya itu yang bisa mereka lakukan sebagai teman dan keluarga baru Mila. Menguatkan. Vina tak sengaja mengetahui kondisi Kania karena ia menelepon Mila saat sedang berada di ambulans, perjalanan menuju rumah sakit. Niat awalnya, Vina ingin menanyakan tentang kelanjutan proyek kerja sama tokonya dengan bronis buatan Mila. Namun ternyata, Vina justru dibuat terkejut dengan kabar yang diterimanya. Sehingga tanpa buang waktu lagi, Vina segera meluncur melihat langsung kondisi Mila.

Sebagai seorang Ibu, Vina dan Lita tentu saja juga ikut merasa sedih saat Mila akhirnya bercerita tentang Kania. Meski perkataan Mila sedikit sulit dimengerti, karena ia bercerita di sela menahan isak, Vina dan Lita tetap menangkap maksud dari keseluruhan cerita Mila. Tak henti-hentinya, mereka berdua mengusap punggung dan lengan Mila untuk membuatnya lebih tenang dan berhenti merasa bersalah.

Mila akhirnya menceritakan semuanya pada kedua teman barunya itu. Mila menceritakan tentang suaminya yang menikah siri diam-diam, yang menurutnya adalah sumber dari segala permasalahan yang membelitnya kini. Mila juga menceritakan tentang dirinya yang pernah membatalkan gugatan cerainya karena ingin fokus pada proses penyembuhan penyakitnya lebih dulu.

 “Aku lakukan semua ini untuk Kania. Supaya masa depan kami bisa berubah menjadi lebih baik,” ucap Mila dengan mata dan ujung hidung memerah. “Tapi ternyata Kania memilih menyerah dan meninggalkan saya.” Tangis Mila dengan durasi panjang, kemudian menyambung kalimatnya.

Vina dan Lita kompak menggeleng sembari terus mengusap punggung dan lengan Mila. “Dokter masih belum memberi kabar resmi, Bu Mila. Tunggu saja, Kania pasti akan kembali ke pelukan Bu Mila.”

“Saya tahu Kania juga tak kalah menderita. Dan bodohnya, saya sebagai ibunya, nggak bisa melindunginya dari semua itu.” Mila kembali menangis menyesali kesalahannya. Saat ini Mila hanya ingin kembali ke masa lalu, jauh sebelum ia sendiri yang membangun tembok penghalang yang tinggi dan menyebabkan hubungannya dengan Kania menjauh.

Mila kemudian menceritakan tentang Kania yang menjadi korban perundungan di sekolah. Ia lalu kembali menyalahkan diri sendiri. “Andai saja aku bisa lebih perhatian pada Kania,” ucap Mila terputus karena menghapus cairan dari hidungnya.

“Dia pasti bisa tumbuh jadi gadis yang percaya diri dan nggak mungkin jadi korban perundungan. Bunuh diri pun pasti nggak akan pernah terlintas dari pikirannya.” Isak Mila semakin keras. Mila yang sekarang bukan seperti Mila yang dulu, yang pandai menyimpan dan menahan tangisnya.

“Memang kadang berat untuk menerima takdir yang buruk, Bu Mila,” ucap Lita. “Semua yang terjadi sama Bu Mila, itu pasti yang terbaik untuk Ibu.”

Mila mengangguk mendengar ucapan Lita. Sebenarnya, pikirannya masih mengingat tentang semua hikmah yang terjadi di hidup Lita. Namun ternyata saat menjalani sendiri, butuh usaha ekstra keras untuk bisa memproses takdir buruk itu menjadi sebuah hikmah.

Di tengah isak yang masih belum surut, Dokter kemudian keluar dari ruang periksa. Mila segera berdiri dan menanyakan kondisi Kania pada Dokter itu.

“Kania sudah kehilangan banyak darah, Bu. Kondisinya masih lemah, dan saat ini masih belum sadar. Namun sepertinya doa Ibu yang membuat Kania sudah berhasil melewati masa kritisnya.”

Mila mengatupkan kedua tangannya di seluruh wajahnya, mengucap syukur karena telah mengizinkan Kania untuk bisa melanjutkan hidupnya.

Dokter lalu menjelaskan bahwa saat ini yang bisa dilakukan hanya menunggu keajaiban sadarnya Kania, karena pihaknya juga tidak bisa memastikan hal seperti itu. “Itu tergantung kondisi masing-masing pasien dan keajaiban doa dari orang-orang terdekat pasien. Yang jelas sekarang kondisinya sudah aman,” ucap Dokter itu kemudian memohon izin untuk memeriksa pasien IGD lainnya, karena telah ada panggilan dari salah satu rekannya.

Terima kasih atas semua pertolonganmu, Tuhan. Mohon berikan aku satu keajaiban lagi, supaya Kania bisa cepat sadar.

Dering dari dalam tas Mila membuatnya tergopoh-gopoh mengeluarkan ponselnya. Nama Agus yang tertera di layar, seketika mengembalikan ingatannya tentang peristiwa kemarin.

Bolehkah aku meminta lebih dari satu keajaiban untuk menghadapi makhluk satu ini, Tuhan?

Lihat selengkapnya