Nestapa Mila

Ana Widyaningrum
Chapter #22

KEMENANGAN YANG JADI NYATA

Reza berterima kasih pada Hakim setelah mendengar permintaan permohonan tambahan saksinya diterima. Ia lalu bergegas meninggalkan tempat duduknya dan berlari ke arah pintu masuk ruang sidang, dan dalam sekejap menghilang dari sana. Semua yang ada di dalam ruang sidang, terlebih dari pihak Agus, mulai berkasak-kusuk. Mila bisa mendengar bahwa Agus mempertanyakan keabsahan saksi tambahan yang tiba-tiba diizinkan masuk. Sementara itu, meski telinganya panas mendengar keluhan dari pihak Agus, Mila tetap menghadap ke belakang sambil menunggu Reza dengan cemas.

Mila membelalakkan mata saat mengetahui saksi tambahan yang diajukan oleh Reza ternyata adalah Kania. Kania berjalan di belakang Reza dengan canggung, melewati semua orang yang hadir di persidangan. Saat keduanya telah menempati kursi masing-masing, Mila menepuk lengan Reza, berusaha untuk meminta penjelasan. Namun Reza tak mengindahkannya. Ia terus tersenyum ke arah Kania yang duduk di kursi barisan belakang mereka. Sesaat kemudian, Reza mengangguk pada Kania seperti mengisyaratkan sesuatu.

Tak jauh berbeda dengan Mila, Agus juga tak kalah terkejut darinya. Kedua alisnya bertaut. Ekspresi wajahnya mendadak berubah cemas. Agus juga berulang kali mengusap wajahnya untuk menghilangkan perasaan tak enak tentang sesuatu yang buruk dan akan segera menimpanya. Saat kuasa hukumnya menanyakan tentang kondisi saat ini, apakah saksi tambahan itu merugikan bagi pihak mereka, Agus hanya diam tak menjawab.

“Saksi tambahan yang saya maksud di sini bernama Kania, berusia 17 tahun,” jelas Reza. “Dia adalah anak dari hubungan pernikahan antara penggugat dan tergugat.”

Reza lalu menjelaskan singkat tentang apa yang terjadi pada Kania. “Karena banyaknya masalah keluarga yang tak sengaja diketahui Kania, dan tumpukan masalah lainnya, baru-baru ini ia melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung, ibunya mengetahui hal itu sebelum terlambat. Karena itulah Kania bisa bergabung bersama dengan kita di sini.” 

“Kania memiliki bukti foto pernikahan Agus yang dilangsungkan sejak empat tahun yang lalu, Yang Mulia.”

“Mbak!” Mila refleks memanggil putrinya yang kini tak bisa lagi menyembunyikan kengeriannya berada di tengah-tengah persidangan orang tuanya. Mata Kania tampak berkaca-kaca, terlihat jelas dari jarak beberapa meter, tempat Mila duduk.

“Tamatlah kita!” seru Agus lirih.

Sementara itu kuasa hukum Agus yang akhirnya mengerti tentang kondisi mereka yang berhasil dibalikkan oleh pihak lawan tampak sangat marah. Temperamennya mirip dengan Agus. “Kok bisa kamu kelewatan satu hal ini, Gus?” bisiknya pada Agus yang tampaknya tetap tak ingin menjelaskan apa pun.

“Kania, apa kamu yakin bisa melanjutkan ini?” tanya Hakim yang memahami kegelisahan Kania.

“Sa ... ya yakin, Yang Mulia,” jawabnya singkat.

Mila yang tak tahan melihat pemandangan itu, bergegas berdiri dan menghampiri putrinya. Ia menggenggam tangan putrinya yang terasa sedingin es. “Kalau kamu nggak bisa, nggak apa-apa, Mbak.”

Kania mengusap kedua matanya, berusaha menghalau air mata yang mulai berjatuhan. “Aku justru nggak bisa kalau selamanya berpura-pura semuanya baik-baik saja, sementara bukti kuat ini ada di aku, Bu.”

Mila menyentuh pipi Kania dan memfokuskan wajah Kania supaya menghadap lurus ke arahnya. Ia menatap kedua mata Kania yang mewarisi bentuk mata ayahnya. Mila berusaha meyakinkan putrinya sekali lagi. “Kamu yakin bisa melakukan ini, Mbak?”

Kania mengangguk. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan membuka kunci ponsel itu. Mila menutup mulutnya dan refleks memundurkan langkah saat melihat foto Agus dalam balutan jas hitam, sedang bersalaman dengan seorang pria yang hanya tampak dari belakang. Itu jelas foto prosesi ijab kabul. Di samping Agus, seorang wanita yang mengenakan kebaya putih terlihat sangat gembira, meski ini bukan pernikahannya yang pertama.  

Rasa sakit yang selama ini dirasakan oleh Kania, serasa menjalar ke tubuhnya. Kini ia baru menyadari betapa berat beban yang dipikul oleh Kania selama ini. Memiliki Ayah yang tak tahu diri, dan terpaksa menyimpan semua kebohongannya selama ini. Dalam diamnya, Kania hanya terus berharap supaya kebenaran tentang masalah ini akan bisa ia lupakan seiring dengan berjalannya waktu.

Sedangkan Mila sendiri sebagai seorang Ibu yang seharusnya menjadi teman bicara dan pelindung nomor satu Kania, justru tak peduli dengan apa yang terjadi pada putrinya sendiri. Mila tak pernah mau ingin tahu tentang kegelisahan dan kekhawatiran apa yang ada dalam pikiran Kania. Mungkin karena itulah, Kania menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh teman sekolahnya, dan berujung melakukan percobaan bunuh diri.

Lihat selengkapnya