“Tuhan sengaja menciptakan ketidaksengajaan.”
Naya menunggu bus sekolah yang selalu membawanya menuju sekolah. Namun, bus yang ditunggu tak kunjung datang. Ia semakin cemas, 15 menit lagi gerbang sekolah pasti ditutup, belum lagi jalanan pagi ibu kota yang sangat padat.
Dari kejauhan, Naya melihat sebuah motor. Pengendara motor itu mengenakan seragam almamater sama dengan yang digunakannya. Dasi cokelat dan jaket abu-abu, membuat Naya yakin bahwa si pengendara berasal dari sekolah yang sama. Naya mengembuskan napas, membangkitkan tekad. Saat motor itu semakin dekat, Naya melambaikan tangan dan berteriak untuk memberhentikannya.
“Hei!” teriaknya kencang. Tak disangka, motor itu berhenti tepat di depannya. “Bang Ojek! Ke SMA Angkasa, ya!” ujar Naya langsung menaiki motor tersebut. Dalam benaknya, ia bingung, kenapa barusan dirinya berucap demikian? Mana ada abang ojek yang memakai almamater dan menggunakan motor besar kece seperti itu?
Akan tetapi, biarlah, namanya juga Naya. Ia bisa minta maaf nanti atau kapan saja ia mau.
Kurang dari sepuluh menit, mereka sudah sampai sekolah. Hal itu berkat cowok yang mengendarai motornya tanpa tahu diri bahwa dia sedang membawa nyawa seseorang. Naya turun, lalu merogoh sakunya. “Nih Bang, ongkosnya! Kembaliannya buat Abang aja.” Cewek itu menyodorkan selembar uang 20 ribu sambil menunduk, tanpa melihat wajah cowok tersebut. Bukan Naya tidak ingin melihat cowok itu, hanya saja ia tidak berani.
Tak kunjung mendapat respons, Naya mengepalkan uang tersebut dan menaruhnya di tangan yang masih mengenakan sarung tangan berwarna hitam itu. Kemudian, dia beranjak tanpa menoleh lagi.
Naya memasuki gerbang utama dan melihat lapangan sudah dipenuhi siswa-siswi yang masih memakai seragam putih biru. Jajaran panitia pun sudah siap berbaris di depan.
“Duh Neng Annaya, cepat masuk Neng. Teman-teman OSIS Neng sudah menunggu dari tadi. Sampai Mas Billy bilang ke saya, kalau ketemu Neng Naya suruh kunciin aja di dalam pos.” Mang Ujang yang merupakan satpam SMA Angkasa itu menyengir, memamerkan gigi ompongnya.
Mas dan Neng adalah sapaan akrab Mang Ujang kepada setiap murid SMA Angkasa. Mas Billy yang ia sebutkan tadi adalah ketua OSIS di sana. Naya yakin Billy akan marah-marah karena dirinya terlambat. Naya balas tersenyum. Sebelum beranjak, Naya sekilas mendengar Mang Ujang berbicara kepada “tukang ojeknya”.
“Mas Rafa, pacarnya Neng Naya?”
Naya ingin sekali berbalik untuk menyanggah, tapi ia mengurungkan niatnya dan bergegas menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua.
“Lah, Mang, kenal sama yang namanya Naya?” balas cowok yang dipanggil Rafa sambil membuka helmnya.
“Itu tadi saya lihat Neng Naya turun dari motor Mas Rafa. Nggak usah malu-malu Mas, yang satu cantik imut, yang satu ganteng, cocok!” Mang Ujang lagi-lagi nyengir.
“Mang Ujang mulai ngawur. Tadi tuh, dia berhentiin motor saya di jalan. Terus, tiba-tiba naik pas saya berhenti. Saya nggak denger cewek itu ngomong apa, kan pakai earphone. Eh, sampai sekolah dia ngasih uang 20 ribu. Mang Ujang udah sarapan?” tanya Rafa mengalihkan topik pembicaraan.
“Belum Mas Raf, baru ngopi. Mas Raf mau pesen kopi?” Mang Ujang kini duduk di bangku panjang yang terletak di depan pos.
“Nggak Mang. Ya udah, ini buat sarapan Mang Ujang.” Rafa menyodorkan uang 20 ribu dari Naya tadi.
“Wah ... pasti ada maunya nih, ya, Mas Rafa?” tanya Mang Ujang jail, seraya mengambil selembar uang yang disodorkan.
Rafa memasuki pos satpam dan berbisik kepada Mang Ujang, “Jangan bilang-bilang ya Mang, saya malas upacara. Nanti pasti lama, banyak sambutannya. Kunci aja posnya dari luar.”
Di dalam pos satpam ia bisa mendengar suara pengurus OSIS yang masih mengatur barisan siswa baru dari speaker. Ia mengeluarkan ponsel dan bermain game. Setidaknya, itu yang membuat pikiran Rafa sedikit tenang.
***