Nevermoor: The Trials of Morrigan Crow

Noura Publishing
Chapter #2

BAB 1: Crow yang Terkutuk

Musim Dingin, Tahun Sebelas

(Tiga hari lalu)

Kucing dapur mati dan Morrigan-lah yang disalahkan.

Morrigan tidak tahu bagaimana atau kapan kejadiannya. Dia menduga, jangan-jangan si kucing keracunan makanan semalam. Tidak ada luka-luka yang mengindikasikan serangan rubah atau anjing. Ada bekas darah yang sudah mengering di sudut mulutnya, tapi selain itu, si kucing seperti sedang tidur, hanya saja badannya dingin dan kaku.

Ketika Morrigan menemukan jasad si kucing di bawah sorot lemah cahaya matahari pagi, dia berjongkok ke tanah di samping hewan itu. Sambil mengerutkan kening, dia mengelus bulu hitam dari atas kepala sampai ke ujung ekor yang megar.

“Maaf, Kucing Dapur,” gumamnya.

Morrigan berpikir di mana sebaiknya mengubur si kucing, juga menimbang-nimbang apakah boleh dia meminta secarik linen bagus dari Nenek untuk dijadikan kain kafan. Mungkin sebaiknya tidak usah, dia memutuskan. Dia bisa menggunakan dasternya sendiri.

Koki membuka pintu belakang untuk memberikan makanan sisa kemarin pada anjing-anjing dan, saking terperanjatnya gara-gara kehadiran Morrigan, dia hampir saja menjatuhkan ember. Sang wanita tua memandangi kucing yang mati dan sontak mengatupkan mulut rapat-rapat.

“Mending dia yang sial daripada aku, puji syukur kepada Yang Kuasa,” gumam perempuan itu sambil mengetuk kosen kayu, lalu mengecup bandul kalungnya. Diliriknya Morrigan. “Aku suka kucing itu.”

“Sama,” kata Morrigan.

“Oh, ya, bisa kulihat,” kata sang Koki, suaranya getir. Morrigan tidak luput menangkap bahwa dia beringsut mundur dengan was-was, selangkah demi selangkah. “Ayo masuk. Kau ditunggu di kantor.”

Morrigan bergegas ke dalam rumah, terdiam sebentar di dekat pintu yang menghubungkan dapur dengan koridor. Dia memperhatikan Koki mengambil sebatang kapur dan menerakan kucing dapur—mati di papan tulis, menambah daftar panjang yang baru-baru ini memuat ikan basi, serangan jantung pak tua tom, banjir di prosper utara, dan noda kaldu di taplak paling bagus.

***

“Saya bisa merekomendasikan sejumlah psikolog anak mumpuni di area Great Jackalfax.”

Pekerja sosial yang baru belum menyentuh teh dan biskuitnya. Dia naik kereta selama dua setengah jam dari ibu kota pagi itu dan berjalan kaki di bawah hujan rintik-rintik dari stasiun ke Griya Crow. Rambutnya yang lepek menempel ke kepala; mantelnya basah kuyup. Tidak ada obat yang lebih manjur untuk mengatasi penderitaan tersebut selain teh dan biskuit, menurut Morrigan, tapi perempuan itu sepertinya tidak berminat.

“Bukan saya yang membuat teh,” kata Morrigan. “Kalau-kalau Anda khawatir.”

Wanita tersebut tidak menggubrisnya. “Dr. Fielding terkenal berkat pekerjaannya dengan anak-anak yang terkutuk. Saya yakin Anda pernah mendengar tentangnya. Dr. Llewellyn juga amat terpandang, kalau Anda menginginkan pendekatan yang lebih lembut dan keibuan.”

Ayah Morrigan berdeham canggung. “Tidak perlu.”

Mata kiri Corvus kerap berkedut-kedut samar, tapi hanya ketika pertemuan wajib bulanan. Morrigan menyimpulkannya sebagai pertanda bahwa ayahnya membenci pertemuan ini sama seperti dirinya. Sebagai ayah dan anak, hanya itu persamaan mereka, selain rambut hitam kelam dan hidung bengkok.

“Morrigan tidak butuh konsultasi,” lanjut Corvus. “Dia anak pintar. Dia tahu persis situasinya.”

Sang pekerja sosial melemparkan pandang barang sekejap ke arah Morrigan, yang duduk bersebelahan dengannya di sofa dan berusaha supaya tidak gelisah. Kunjungan pekerja sosial selalu berkepanjangan. “Kanselir, tanpa bermaksud lancang … waktu yang tersisa amatlah singkat. Semua pakar setuju bahwa kita tengah memasuki tahun terakhir Zaman ini. Tahun terakhir sebelum Eventide.” Morrigan berpaling ke jendela, mencari-cari pengalih perhatian seperti biasa, kapan pun seseorang menyebut E-itu. “Anda tentu paham bahwa saat ini merupakan periode transisi penting untuk—”

“Anda bawa daftarnya?” tanya Corvus tak sabaran. Dipelototinya jam di dinding kantor.

“Ya—tentu saja.” Sang pekerja sosial mengeluarkan selembar kertas dari map, hanya gemetar sedikit. Perempuan ini lumayan, pikir Morrigan, padahal baru dua kali dia berkunjung. Pekerja sosial terdahulu bicara sambil berbisik-bisik dan menganggap bahwa duduk sekursi dengan Morrigan sama saja seperti mengundang musibah. “Perlu saya bacakan? Daftarnya relatif pendek bulan ini—kerja bagus, Nona Crow,” katanya kaku.

Morrigan tidak tahu mesti berkata apa. Dia tidak sepatutnya dipuji atas sesuatu yang tidak dia kendalikan.

“Akan kita mulai dari insiden yang perlu diberi ganti rugi: Dewan Kota Jackalfax meminta tujuh ratus kred untuk mengganti gazebo yang rusak saat hujan es.”

“Saya kira, kita sudah sepakat bahwa cuaca ekstrem belum tentu memiliki sangkut paut dengan putri saya,” kata Corvus. “Selepas kebakaran hutan di Ulf, yang ternyata disengaja. Ingat?”

“Ya, Kanselir. Meski begitu, seorang saksi menyiratkan bahwa Morrigan bersalah dalam kasus ini.”

“Siapa?” selidik Corvus.

“Seorang pria yang bekerja di kantor pos mendengar Nona Crow berkomentar kepada neneknya mengenai cuaca Jackalfax yang sangat bagus.” Sang pekerja sosial memandangi catatannya. “Empat jam kemudian, turunlah hujan es.”

Corvus mendesah berat dan bersandar ke kursinya, sambil melemparkan tatapan kesal kepada Morrigan. “Ya sudah. Lanjutkan.”

Morrigan mengernyitkan dahi. Seumur hidup, dia tidak pernah berkomentar bahwa “Cuaca Jackalfax sangat bagus”. Dia memang ingat sempat menoleh kepada Nenek di kantor pos hari itu dan berkata, “Panas, ya?” tapi itu tidak sama.

“Seorang penduduk lokal, Thomas Bratchett, meninggal karena serangan jantung baru-baru ini. Dia—”

“Tukang kebun kami, saya tahu,” potong Corvus. “Sayang sekali. Kembang bokor menjadi merana karenanya. Morrigan, bapak tua itu kau apakan?”

“Tidak kuapa-apakan.”

Corvus tampak skeptis. “Sungguh? Sama sekali?”

Morrigan berpikir sejenak. “Kubilang, petak bunganya kelihatan indah.”

“Kapan?”

“Kira-kira setahun lalu.”

Corvus dan si pekerja sosial bertukar pandang. Sang perempuan mendesah pelan. “Keluarganya sangat berbesar hati. Mereka semata-mata meminta agar Anda membayari biaya pemakaman, menyekolahkan cucu-cucunya sampai perguruan tinggi, dan bederma kepada lembaga amal favoritnya.”

“Cucunya berapa orang?”

“Lima.”

“Beri tahu mereka bahwa saya bersedia membiayai dua orang. Lanjutkan.”

“Kepala sekolah di Jackalfax—ah!” Wanita itu terlompat saat Morrigan mencondongkan badan ke depan untuk mengambil biskuit, tapi sepertinya langsung tenang ketika dia menyadari bahwa Morrigan tidak bermaksud menyenggolnya. “Ah … ya. Kepala Sekolah Persiapan Jackalfax akhirnya mengirimi kami tagihan yang memerinci kerusakan akibat kebakaran. Dua ribu kred semestinya cukup.”

“Menurut surat kabar, juru masak lupa mematikan kompor semalaman,” kata Morrigan.

“Tepat,” kata sang pekerja sosial, tatapannya terpaku ke kertas di hadapannya. “Koran juga mengatakan bahwa dia melintasi Griya Crow sehari sebelum kebakaran dan melihat Anda di halaman.”

“Lantas?”

“Katanya, Anda menatap matanya.”

“Tidak pernah.” Morrigan merasa naik darah. Kebakaran itu bukan salahnya. Dia tidak pernah menatap mata siapa-siapa; Morrigan paham aturannya. Si juru masak membual supaya tidak disalahkan.

“Demikianlah yang tercantum dalam laporan polisi.”

“Dia pembohong.” Morrigan menoleh kepada ayahnya, tapi Corvus urung membalas tatapannya. Sungguhkah ayahnya percaya bahwa yang salah adalah Morrigan? Si juru masak mengakui bahwa dia lupa mematikan kompor! Tudingan yang tidak adil itu membuat perut Morrigan melilit. “Dia bohong, saya tidak pernah—”

“Cukup!” hardik Corvus. Morrigan memerosot di kursi sambil bersedekap. Ayahnya lagi-lagi berdeham dan mengangguk kepada sang perempuan. “Silakan tembuskan surat tagihan kepada saya. Tolong, bacakan daftar sampai tuntas. Saya mesti menghadiri rapat seharian ini.”

“S-soal uang, sudah selesai,” kata sang pekerja sosial sambil merunut lembaran kertas dengan jari gemetar. “Nona Crow hanya perlu menulis tiga surat permohonan maaf bulan ini. Satu kepada seorang warga lokal, Nyonya Calpurnia Malouf, atas panggulnya yang patah—”

“Ketuaan untuk main seluncur es,” gerutu Morrigan.

“—satu kepada Komunitas Selai Jackalfax atas selai jeruk yang basi, dan satu lagi kepada anak laki-laki bernama Pip Gilchrest, yang kalah dalam Lomba Mengeja Negara Bagian Great Wolfacre minggu lalu.”

Mata Morrigan membelalak. “Saya cuma memberinya ucapan semoga berhasil!”

“Justru itu, Nona Crow,” kata sang pekerja sosial sambil mengoperkan daftar kepada Corvus. “Anda tahu bahwa Anda tidak boleh melakukan itu. Kanselir, sepengetahuan saya, Anda sedang mencari tutor baru?”

Corvus mendesah. “Asisten saya sudah menghubungi semua agen di Jackalfax dan bahkan mengontak beberapa agen di ibu kota. Sepertinya negara bagian kita yang hebat sedang kekurangan tutor pribadi.” Dia mengangkat alis dengan ragu.

“Bagaimana dengan Nona ….” Sang pekerja sosial mengecek catatannya. “Linford, ya? Kali terakhir kita berbicara, Anda mengatakan bahwa pekerjaannya bagus.”

“Perempuan lemah,” cemooh Corvus. “Dia hanya tahan kurang dari sepekan. Angkat kaki begitu saja suatu siang dan tidak kembali lagi, entah kenapa.”

Itu tidak benar. Morrigan tahu kenapa.

Lihat selengkapnya