Nevermoor: The Trials of Morrigan Crow

Noura Publishing
Chapter #3

BAB 2: Hari Lelang

“Jangan bicara kepada siapa-siapa, Morrigan,” gumam ayahnya untuk kali keseratus pagi itu, bergegas menaiki undakan batu Balai Kota dengan langkah-langkah panjang sementara Morrigan berjuang untuk menyamai kecepatan Corvus. “Kau akan duduk di panggung bersama Ayah, disaksikan oleh semua orang. Paham? Jangan berani-berani … membuat ulah. Jangan mematahkan panggul atau … mendatangkan kawanan lebah, atau menjatuhkan tangga, atau—”

“Mengundang serangan hiu?” tukas Morrigan.

Corvus menoleh ke arah sang putri, wajahnya sontak memerah di mana-mana. “Kau kira ini lucu? Semua orang di Balai Kota akan menyaksikan. Kalau sampai kau berbuat macam-macam, Ayah-lah yang akan terkena getahnya. Apa kau sengaja ingin menghancurkan karier Ayah?”

“Tidak,” kata Morrigan sambil mengusap setitik ludah yang tersembur dari mulut marah ayahnya. “Tidak dengan sengaja.”

Morrigan sudah pernah ke Balai Kota beberapa kali, biasanya ketika tingkat popularitas sang ayah mencapai titik nadir dan pria itu perlu memamerkan dukungan dari keluarga di hadapan publik. Diapit oleh pilar batu dan berdiri di bawah bayangan menara jam besi mahabesar, Balai Kota nan suram adalah bangunan terpenting di Jackalfax. Walau begitu, menara jam—sekalipun Morrigan biasanya berusaha untuk tidak melihat ke sana—sejatinya jauh lebih menarik.

Jam Mukalangit bukanlah jam biasa. Jam tersebut tidak berjarum, bahkan juga tidak dilengkapi garis-garis penanda waktu. Muka kacanya yang bundar menutupi langit kosong di sebelah dalam yang berubah seiring perjalanan Zaman—dari fajar Morningtide yang merah muda pucat, menjadi Basking yang cerah keemasan, beralih ke senja Dwendelsun yang berpendar jingga, sampai ke keremangan Gloaming yang biru gelap.

Hari ini—sama seperti tiap hari sepanjang tahun ini—jam menunjukkan Gloaming. Morrigan tahu bahwa itu berarti siklus Jam Mukalangit akan memasuki tahapnya yang kelima dan penghabisan: Eventide gelap gulita yang bertabur bintang. Hari terakhir Zaman.

Namun, itu masih setahun lagi. Sambil mengusir pikiran itu dari benaknya, Morrigan mengikuti ayahnya menaiki undakan.

Suasana antusias terasa di auditorium lapang yang lazimnya beratmosfer serius. Beberapa ratus anak dari seluruh Jackalfax telah tiba dalam balutan pakaian Minggu mereka yang terbaik; anak-anak lelaki dengan rambut tersisir rapi dan anak-anak perempuan berkucir dua dan berpita serta bertopi. Mereka duduk tegak di bangku yang berderet-deret, di bawah tatapan tegas Presiden Wintersea yang potretnya digantung di tiap rumah, toko, dan gedung pemerintah di Republik—selalu memperhatikan, selalu membayangi.

Hiruk pikuk melirih menjadi kasak-kusuk belaka sementara Morrigan dan Corvus menempati kursi di atas panggung, di belakang podium. Ke mana pun Morrigan melayangkan pandang, mata-mata yang disipitkan terpicing ke arahnya.

Corvus memegangi pundaknya dengan gestur kebapakan yang tak wajar sementara reporter lokal menjepret foto mereka. Jelas-jelas cocok untuk dijadikan berita halaman muka, pikir Morrigan—anak perempuan yang nahas dan ayahnya yang akan segera berduka, duo yang bernasib luar biasa tragis. Dia coba-coba memasang tampang pilu, padahal tidak mudah, sebab dia kesilauan gara-gara lampu kilat kamera.

Selepas koor mengumandangkan Lagu Kebangsaan Republik Wintersea (Tinggi menggapai! Jauh merengkuh! Maju melaju! Dirgahayu!) dengan gegap gempita, Corvus membuka upacara dengan pidato yang sangat menjemukan, diikuti oleh sejumlah kepala sekolah dan para pengusaha lokal yang semuanya mesti menimbrung juga. Kemudian, akhirnya, Wali Kota Jackalfax mengeluarkan kotak kayu mengilap dan mulai membacakan tawaran. Morrigan duduk tegak di kursi, merasakan secercah kegairahan yang tidak mampu dia jelaskan.

“Madam Honora Salvi dari Sanggar Balet Salvi,” Wali Kota membaca tulisan di depan amplop pertama yang dia keluarkan, “ingin mengajukan tawaran untuk Molly Jenkins.”

Pekik girang terdengar dari baris ketiga dan melompatlah Molly Jenkins dari tempat duduknya, bergegas ke atas panggung untuk menekuk lutut dengan hormat dan mengambil amplop berisi surat lelangnya.

“Selamat, Nona Jenkins. Harap temui ajudan di belakang auditorium selepas upacara, Nak. Mereka nanti akan mengantarmu ke ruang wawancara.”

Wali Kota mengambil sepucuk amplop lain. “Mayor Jacob Jackerley dari Sekolah Perang Poisonwood ingin mengajukan tawaran untuk Michael Salisbury.”

Teman-teman dan keluarga Michael bersorak saat dia menerima surat lelang.

“Bapak Henry Sniggle, pemilik dan pengelola Emporium Ular Sniggle, ingin mengundang Alice Carter sebagai murid herpetologi—waduh, menarik sekali!”

Lelang berlanjut selama hampir sejam. Anak-anak di auditorium menyaksikan dengan tegang sementara tiap amplop dikeluarkan dari kotak. Tiap pengumuman disambut teriakan girang dari penerima dan orangtua yang bersangkutan, serta desahan kecewa dari yang lain.

Morrigan mulai gelisah. Pengalaman barunya menyaksikan Hari Lelang awalnya memang asyik, persis seperti yang dia kira. Meski begitu, Morrigan tidak menyangka dan tidak bisa memahami kecemburuan yang menggerogotinya, yang menjadikan perutnya mulas, sementara dia memperhatikan anak demi anak menyambar amplop mereka, masing-masing menjanjikan masa depan cemerlang yang mustahil Morrigan kecap sendiri. Ucapan Ivy terngiang-ngiang di benaknya: Kau tidak mengharapkan tawaran, ‘kan? Wah, ada-ada saja.

Begitu teringat akan tawa Ivy, memanaslah wajah Morrigan. Rasa kalut yang muncul sekonyong-konyong menyuruhnya untuk kabur dari auditorium yang gerah pengap. Walau begitu, Morrigan berusaha mengekang hasrat tersebut.

Sorak-sorai mengemuka dari baris depan ketika Cory Jameson ditawar oleh Nyonya Gennifer O’Reilly dari Akademi Wintersea yang prestisius, sebuah sekolah di ibu kota yang didanai oleh pemerintah. Itu adalah tawaran kedua yang dia terima hari itu; yang pertama berasal dari institut geologi di Prosper, negara bagian terkaya di Republik, daerah penambangan rubi dan safir.

“Wah, wah,” kata Wali Kota sambil menepuk-nepuk perutnya yang gendut saat Cory mengambil amplop kedua dan melambai-lambaikannya ke atas kepala, alhasil disambut oleh sorak-sorai yang malah lebih nyaring dari keluarganya di antara hadirin. “Dua tawaran! Rekor yang patut dicatat. Kali pertama Jackalfax menyaksikan tawaran ganda dalam kurun bertahun-tahun. Kerja bagus, Nak, kerja bagus. Kau mesti membuat keputusan besar. Dan, sekarang … ah, kita mendapat tawaran anonim untuk … untuk ....”

Wali Kota terdiam, melirik seksi VIP dan kemudian kembali lagi ke surat di tangannya. Dia berdeham. “Untuk Nona Morrigan Crow.”

Keheningan menghinggapi auditorium. Morrigan mengerjapkan mata.

Apa dia berkhayal? Tidak—Corvus bangun sedikit dari kursi sambil memelototi Wali Kota, yang mengangkat bahu tanpa daya.

“Nona Crow?” panggil Wali Kota sambil melambai, untuk mempersilakannya maju.

Khalayak sontak berbisik-bisik, suara mereka seperti sekawanan burung yang lepas landas karena kaget.

Ini kekeliruan, pikir Morrigan. Tawaran itu pasti untuk orang lain.

Dia melayangkan pandang ke barisan anak-anak; tidak ada apa-apa selain wajah-wajah yang merengut dan jari-jari yang menuding. Apakah Balai Kota telah membesar dua kali lipat? Bertambah terang dua kali lipat? Kesannya seolah-olah lampu sorot bersinar langsung ke kepala Morrigan.

Wali Kota kembali melambai, kelihatan resah dan tak sabaran. Morrigan menarik napas dalam-dalam dan memaksa kakinya berdiri dan berjalan ke depan, tiap langkah kaki bergema memekakkan ke kasau. Seraya mengambil amplop dengan tangan gemetar, dia mendongak ke arah Wali Kota, menanti pria itu tertawa di mukanya dan merebut amplop tersebut. Ini bukan untukmu! Namun, Wali Kota semata-mata balas menatap Morrigan, kekhawatiran mengguratkan kerutan dalam di antara alisnya.

Morrigan membalik amplop, jantungnya berdentum-dentum; di atas kertas, terteralah namanya dalam tulisan tegak bersambung nan elok. Nona Morrigan Crow. Surat ini betul-betul untuknya. Walaupun suasana di auditorium semakin tegang, Morrigan merasa lebih enteng. Dilawannya hasrat untuk tertawa.

“Kerja bagus, Nona Crow,” kata Wali Kota sambil tersenyum tak meyakinkan. “Silakan duduk. Nanti, sesudah upacara, silakan temui salah seorang ajudan di belakang auditorium.”

“Gregory—” tukas Corvus, suaranya menyiratkan nada memperingatkan. Wali Kota lagi-lagi mengangkat bahu.

“Sudah tradisi, Corvus,” bisiknya. “Lebih dari itu—hukumnya begini.”

Sementara upacara berlanjut, Morrigan duduk kembali sambil membisu dan tercengang. Dia tidak berani membuka surat lelang. Ayahnya bergeming, melirik amplop putih gading beberapa detik sekali seakan ingin merampasnya dari tangan Morrigan dan membakarnya. Morrigan menyimpan amplop itu dalam saku roknya, supaya aman, dan memegangi amplop tersebut erat-erat sementara delapan anak lagi menerima tawaran. Dia berharap upacara tidak akan berlanjut terlalu lama. Kendati Wali Kota dengan gagah berupaya untuk bersikap riang seakan tidak terjadi apa-apa, Morrigan masih bisa merasakan tatapan tajam beberapa ratus pasang mata.

“Nyonya Ardith Asher dari Kolese Perempuan Deveraux—saya tidak pernah dengar!—ingin mengajukan tawaran untuk … untuk ….” Suara Wali Kota melirih. Dia mengambil saputangan dari saku dan mengusap keringat dari alisnya. “Untuk Nona Morrigan Crow.”

Kali ini, hadirin terkesiap. Morrigan bergerak seakan dalam mimpi untuk mengambil tawaran keduanya hari itu. Bahkan, tanpa mengecek apakah namanya betul-betul tertera di depan, amplop merah muda harum itu langsung saja dia masukkan ke saku untuk bergabung dengan amplop satunya.

Beberapa menit berselang, nama Morrigan dipanggil untuk kali ketiga. Dia bergegas maju untuk mengambil tawaran yang diajukan oleh Kolonel Van Leeuwenhoek dari Akademi Militer Harmon, kemudian buru-buru kembali ke kursinya segesit mungkin dan memandangi sepatunya dengan penuh tekad. Dia berusaha mengabaikan sensasi jumpalitan di perutnya, seolah-olah sekawanan kupu-kupu tengah menggelar perayaan di sana. Sukar untuk tidak menyeringai.

Seorang lelaki di baris ketiga berdiri dan berteriak, “Tapi, dia terkutuk! Tidak boleh begini!” Istri pria itu menarik lengannya, ber-sst sst supaya dia diam, tetapi lelaki itu tidak sudi dibungkam. “Tiga tawaran? Saya tidak pernah mendengar yang seperti itu!” Gumam setuju menyebar di seantero khalayak sampai-sampai seisi auditorium menggemuruh.

Morrigan merasakan kebahagiaannya surut bak lampu yang hampir kehabisan gas. Pria itu benar. Dia terkutuk. Apa yang bisa diperbuat oleh seorang anak terkutuk dengan tiga tawaran? Dia tidak akan diperbolehkan menerima tawaran tersebut.

Wali Kota mengangkat tangan untuk meminta hadirin tenang. “Pak, kita harus melanjutkan kalau tidak mau di sini seharian. Tolong tenang, Saudara-Saudari. Perkembangan yang tidak lumrah ini akan saya korek sampai ke akar-akarnya sehabis upacara.”

Jika Wali Kota berharap bahwa suasana tenang akan pulih kembali, dia niscaya kecewa, sebab ketika dia mengambil amplop berikut, bunyinya:

“Jupiter North ingin mengajukan tawaran untuk … wah, saya tidak percaya. Morrigan Crow.”

Balai Kota menjadi ricuh saat anak-anak dan para orangtua melompat berdiri, berteriak sampai wajah mereka berubah warna menjadi kemerah-merahan dan keungu-unguan, dengan berang menanyakan apa artinya kegilaan ini. Empat tawaran! Dua saja tidak lazim dan tiga teramat jarang, tapi empat? Tidak pernah!

Upacara masih menyisakan dua belas tawaran lagi. Wali Kota mengumumkan nama-nama penerima secepat kilat, wajahnya berkeringat lega tiap kali dia membaca nama yang bukan Morrigan. Akhirnya, tangan Wali Kota meraba-raba dasar kotak dan mendapatinya sudah kosong.

“Yang barusan adalah amplop terakhir,” kata Wali Kota sambil memejamkan mata penuh syukur. Suaranya bergetar. “S-semua anak yang menerima tawaran dimohon ke belakang auditorium dan, ng, ajudan akan mengantar kalian ke ruang wawancara untuk, ng, menemui calon pengayom kalian. Yang lain … saya yakin kalian semua ... kalian tentu tahu. Bukan berarti kalian semua tidak kapabel dan, eh … begitulah.” Dia melambai samar ke arah hadirin, yang menangkap gestur tersebut sebagai aba-aba untuk membubarkan diri.

Corvus bersumpah akan bertindak, akan menggugat, akan menurunkan Wali Kota dari jabatannya—tapi Wali Kota bersikeras mengikuti protokol. Morrigan harus diizinkan menemui para penawarnya jika dia ingin.

Morrigan memang ingin sekali.

Tentu saja Morrigan tahu dia tidak akan bisa menerima tawaran barang satu pun. Malahan, dia tahu begitu orang-orang asing misterius tersebut menyadari bahwa mereka telah menawar seorang anak yang terkutuk, mereka akan membatalkan tawaran dan barangkali berlari kabur cepat-cepat. Namun, tidak sopan apabila tidak menemui mereka sama sekali, Morrigan berargumen. Apalagi mereka sudah jauh-jauh datang ke sini.

Saya minta maaf, Morrigan berlatih dalam hati, tapi saya tercatat di Register Anak Terkutuk. Saya akan mati saat Eventide. Terima kasih atas minat dan waktu Bapak-Ibu.

Ya. Sopan dan langsung tepat sasaran.

Lihat selengkapnya