Kata orang, kesan pertama bisa menentukan segalanya. Kesan itulah yang bakal menilai baik-buruknya dirimu di mata orang. Kalau kesanmu baik, biasanya orang-orang akan tertarik untuk mengenalmu lebih lanjut. Tapi kalau kesanmu buruk, maka bersiaplah untuk dikucilkan, dijauhi, dan disalahpahami.
Ada tiga hal yang sering digunakan orang untuk mengukur kesan pertama, yaitu cara bicaranya, penampilannya, atau kelakuannya. Dari ketiga hal itu, penampilan adalah yang paling gampang dilihat. Kamu nggak perlu waktu berhari-hari untuk memastikan seseorang tergolong baik atau buruk. Cukup dengan sekali lihat, kamu sudah bisa menilainya.
Sialnya, Yani adalah orang yang kurang beruntung dalam hal penampilan. Seluruhnya! Entah itu wajahnya, badannya, atau gaya berpakaiannya, semuanya buruk menurut standar orang-orang.
Yani baru menyadarinya setelah dia pindah sekolah dari Cimahi ke Jakarta. Dia pindah gara-gara mengikuti pekerjaan orang tuanya. Tapi, bukan cuma dia satu-satunya yang berstatus sebagai murid pindahan. Di sebelahnya, sudah berdiri pula seorang murid pindahan lain yang berasal dari Bogor. Namanya Sofi. Mereka sama-sama murid pindahan. Sama-sama perempuan. Sama-sama murid kelas 10 SMA. Sama-sama … apalagi ya? Kayaknya nggak ada deh.
Perbedaan paling mencolok yang tampak pada keduanya adalah wajah. Sofi punya wajah yang cantik jelita, kulitnya putih mulus, rambutnya cokelat berkilauan, badannya langsing bak model, pokoknya sempurna. Sedangkan Yani sebaliknya. Kulitnya dekil, pipinya dipenuhi bercak-bercak bekas jerawat, rambutnya yang digerai tampak seperti singa, badannya gendut, dan dua gigi depannya mirip kelinci alias agak tonggos. Perbedaan ini semakin jelas terlihat kalau kamu melihat keduanya berdiri berdampingan di depan kelas seperti sekarang.
"Coba perkenalkan diri kalian masing-masing," suruh Bu Wati sebelum keduanya resmi menjadi murid SMA Bintoro.
Dengan penuh percaya diri Sofi memperkenalkan dirinya lebih dulu.
"Hai! Namaku Sofia Vanessa. Panggil aja aku Sofi—"
Tiba-tiba, seorang cowok berambut kribo dari bangku belakang menginterupsi perkenalannya dengan berceloteh. "Kalau dipanggil Sayang aja boleh nggak?" godanya.
Situasi kelas seketika heboh. Anak-anak bersorak dan meledek si cowok berambut kribo dengan kata-kata:
"Sa ae lu bambang!"
"Modus lo, bro."
"Pepet terus!"
"Jangan kasih kendor!"
"Sikat, bro!" dan masih banyak lagi.
Untungnya, situasi gaduh itu nggak berlangsung lama karena Bu Wati cepat-cepat menghentikan mereka dengan suaranya yang menggelegar.
"Diaaam!" serunya nyaring.
Seketika para murid bungkam. Nggak ada lagi suara celotehan gombal, nggak ada lagi bunyi siul-siul genit, nggak ada lagi sorakan-sorakan yang berisik. Semuanya diam cuma gara-gara bentakan Bu Wati.
"Kalian ini diajari sopan santun nggak sih?" Bu Wati ngamuk. "Kalau ada orang ngomong itu diperhatikan, bukan malah celometan sendiri! Ngerti?!" gertaknya mengakhiri.
Mungkin karena takut, seisi kelas akhirnya kompak menjawab, "Ngerti, Bu!"
"Bagus!"
Bu Wati tampak senang. Dia berhasil mengendalikan kondisi kelas dari yang semula gaduh menjadi tenang.
Tanpa basa-basi, Bu Wati menyuruh Sofi untuk memperkenalkan dirinya sekali lagi.
"Coba kamu ulangi perkenalan kamu tadi," suruh Bu Wati sambil bersedekap dan dagu yang sedikit terangkat.
Sofi mengulangi perkenalannya.
"Hai, namaku Sofia Vanessa. Kalian bisa panggil aku Sofi. Aku pindahan dari Bogor. Senang bisa sekelas sama kalian."