Kembali ke momen melihat instastory.
Setelah melihat instastory Dapid dan Concon dan mengenang momen yang pernah terjadi, sisa instastory selanjutnya ialah story dari cewek-cewek yang sikami follow, kebanyakan cewek yang “sekedar” sikami suka. Jangankan di-follback, untuk nge-dm apalagi menyapanya secara langsung mana berani. Entahlah, mungkin minder karena merasa kurang ganteng kaya opa-opa korea, kurang ideal kaya Iqbal Coboi Junior ataupun kurang kaya seperti hotman paris, ditambah instastory mantan masih selalu nongol di instagram sikami. Sepertinya, alasan terakhir itu yang paling kuat membuat sikami minder untuk kembali membuka lembaran baru mencari pasangan.
Setidaknya, melihat cewek secara online dapat sedikit mengobati dan mengingatkan bagaimana rasanya memiliki pasangan. Meskipun kadang suka sedikit kesal melihat beberapa instastory cewek, bukan ke personal si cewek tersebut, tapi lebih ke perasaan dan pernyataan seperti, “kok bisa ya dia mau sama cowok kaya gitu ?”, “kok dia mau ya berlibur berdua dengan si itu?”, “lah, kan masih pacaran, kok si cewek dikasih kado iphone X ya?, mungkin..(mulai mikir aneh-aneh)”, ”kok sering ya dia post screenshot lamanya dia video call dengan si cowok?”, “kok dia suka update bareng cowok di mall?”, “kok bisa ya dia pacaran sama bule ?” pikiran-pikiran seperti itu yang selalu menghantui sikami ketika melihat instastory cewek, apalagi cewek yang disuka, mungkin itu yang menambah minder sikami kalau ngeliat instastory cewek hingga membuat sulit beraninya sikami menyapa ke cewek yang di- follow.
Belum juga sempat membuka instastory cewek, sikami tersadar bahwa jam menunjukkan pukul 06.17. Sikamipun bergegas mandi cepat karena dinginnya udara Bandung, pakai baju, celana, juga dalamannya, sarapan lauk dikit nasi banyak, dan yang paling penting, memanaskan motor andalan sikami, si supra.
Si Supra sebutannya, motor bebek keluaran awal tahun 2000-an yang khas, motor yang menemani sikami sejak jaman SMA, membonceng pacar pertama meskipun space yang tersedia untuk si dia hanya berkisar ¼ dari sisa jok karena ¾ jok nya telah terduduki oleh sikami.
Teringat, kala itu sikami baru saja diterima cintanya oleh si dia, namanya Vani. Vani merupakan adik kelas sikami, meskipun bukan cewek populer, tapi bagi sikami, dia adalah sosok yang berbeda, cukup beda hingga membuat sikami menjadikannya sebagai pacar pertama. Mata sipit, rambut sebahu, hidung tidak terlalu pesek, badan proporsional, lalu yang paling menonjol adalah besarnya.... keinginan dia untuk bertanya dan belajar, juga yang membuatnya berbeda dengan cewek yang lain ialah tutur kata dan nadanya yang halus dan lembut. Keunikan dan hal yang menonjol serta berbeda itulah yang membuat sikami jatuh hati padanya saat SMA.
Kalo dipikir sekarang, geli rasanya untuk mengingat momen saat menembak Vani. Ceritanya, saat itu sikami menjadi anggota OSIS senior dan Vani adalah anggota OSIS junior, sikami meminta bantuan teman yang bernama Bagus dan Iman. Konsepnya saat itu, Iman dan Bagus sebagai senior akan mengajak diskusi Vani di ruangan OSIS yang terletak di pojok sekolah, mereka akan mengajak diskusi atau lebih tepatnya memarahi Vani terkait dengan kedisiplinannya, ceritanya. Lalu, tiba-tiba sikami datang ke ruangan tersebut sambil menyanyikan lagu yang sedang hits saat itu, ”Geisha – Tak Kan Pernah Ada”, sambil memainkan gitar lalu belakang gitar tersebut telah ditempelkan sticky notes bertuliskan “would you be mine?”. Konsepnya sudah dirasa okeh, sebelum eksekusi dilakukan, Bagus berkata, “eh Bil, dia kan masih junior nih, takutnya nanti dia malu jawabnya, gimana kalo cara jawab pake coklat, jadi kalo dia mau, dia makan coklatnya, kalo dia gak mau dia gak makan coklatnya, gitu Bil!, nih urang punya coklat (sambil memberi coklat)” sikami pun menjawab, “Boleh juga, nuhun gus, gow gaskeun!!”
Eksekusipun dilakukan, Vani sudah berada di dalam ruangan dengan Bagus dan Ilham dan sikami bersiap dengan gitar dan sticky notes yang telah ditempelkan. Terdengar ke luar Iman sedang memarahi Vani, “Kamu tau gak kesalahan kamu? Kamu sering terlambat dan kurang membaur dengan temen – temen lain!” ucap Iman dengan nada tinggi. “Iya maaf kang.” Jawab Vani dengan suara pelan. “Maaf-maaf, emang lagi lebaran! Kita ga butuh maaf, kita maunya kamu berubah!” ucap Bagus. Vani mulai tertekan dan kaget, ditambah Bagus dikenal dengan senior yang baik, jarang bahkan tidak pernah terlihat dia marah. Belum sempat Vani menjawab, masuklah sikami dengan tiba-tiba, “Braakkk” pintu terbuka dengan keras, tanpa basa – basi sikami langsung bernyanyi sambil memainkan gitar, “ku ingin kau tau isi hatikuuu..” (saat bernyanyi, dalam hati sikami, “anj*ng, gitar lupa di stem lagi!!, udah suara pas-pas an, suara gitar ga karuan, Bagus-Iman bahkan Vani yang tadi tertunduk pun sekarang menahan ketawa lagi disana.” tapi udah kepalang, nyanyian pun dilanjutkan hingga bait reff dituntaskan). Nyanyi yang gajelas ini pun usai, dilanjut dengan pertanyaan sikami kepada Vani, “Vani...” (sambil membalikan gitar untuk memperlihatkan bacaan yang udah dipersiapkan) lalu, dilanjut dengan ucapan sikami, “Maaf ya van, tadi kamu dibentak sama Bagus-Iman, mereka cuma ngebantu aku kok, btw untuk jawaban pertanyaan ini (mengarah ke bacaan belakang gitar) kalau kamu mau, kamu bisa bilang iya dengan cara nyicip coklat ini ya (sambil menunjukkan coklat yang telah dipersiapkan).” Beberapa saat, Vani tidak bereaksi, hati sikami udah ga karuan kayak nyanyian dan suara gitar yang dipersembahkan.
Setelah beberapa menit, Vani berucap, “maaf ya bang,..”
Respon sikami dalam hati, ”mampus ditolak nih sikami, ambil dispensasi sama pura – pura sakit ajalah seminggu kedepan, malu kieu euy.”
Lalu Vani kembali berucap dengan suara pelan, ”Sebenernya aku gak suka coklat...”
“Nah gini nih cewek, langsung aja sih bilang kalo gak mau, ga usah alasan gak suka coklat.” kelakar sikami dalam hati.
Belum sempet sikami memberikan respon atas ketidaksukaannya dengan coklat, Vani langsung berkata, “aku gak suka coklat, tapi aku mau kok jadi pacar BangBil.”
Gila rasanya! Ungkapan tanpa suara yang dapat dieksperikan sikami pertama kalinya diterima cewek, rasanya diri ini menjadi semangat, gak ada pikiran untuk menyentuh surat dispensasi ataupun pura-pura sakit. Setelah diterimanya sikami oleh Vani, kami pun keluar dari ruangan tersebut, tangan kiri memegang gitar, tangan kanan memegang jempol tangan kiri Vani, maklum masih malu.
“PJ euy PJ!! Pajak Jadian dulu euy!! Cieee, kan udah dibantu coklat,” ucap Bagus. “Ahh, ga guna coklatnya ge euy hahahaa.” (sambil mengembalikan coklatnya Bagus).
Setelahnya, kami pun bergegas pulang bareng. Untuk pertama kalinya, si Supra merasakan joknya tidak hanya ditempati sikami, ya meskipun hanya ¼ nya. Untung saja, saat itu belum ada film ataupun novel dilan, coba kalo ada, mana berani sikami ngajak Vani pake si Supra, yang ada mungkin dia pingin ala – ala dilan pake motor gede.
Setelah mengeluarkan motor dari parkiran, ”Van, maaf ya, BangBil motornya jelek” ucap sikami.
“Gapapa kok..” jawab Vani.
Sebenarnya, tidak jelas juga nada Vani, apakah nada tegas bukti memang tidak apa-apa dengan motor sikami, atau nada ragu bukti ketidaksukaan dengan motor sikami, saat itu tidak memperdulikan hal tersebut. Langsung saja memboncengnya pulang.
Tidak ada percakapan ataupun pelukan sepanjang perjalanan, mungkin karena masih baru, masih malu.
Sepanjang perjalanan, pikiran sikami bingung lalu bergumam dalam hati, nanti saat tiba di rumahnya, ngomong apa ya? Kalo ada bapanya nongol di pager, tar bilang apa? Bapanya galak ga ya? Mamahnya? Terus nanti masuk rumahnya ga ya? Jangan bilang diminta bantuin ngerjain PR di kamar J. Ahh lieur...
17 menit terlewati, kami pun tiba di rumah Vani. Tidak lama perjalanan dari sekolah ke rumahnya saat itu. Walaupun kecepatan si Supra terbatas, tapi kemacetan belum melanda kota Bandung kala itu. 17 menit cukup singkat untuk jarak rumah-sekolah, cukup singkat untuk jarak dari Antapani ke Cimahi. Ya, sekolah kami di Antapani, rumahnya di Cimahi.
Saat tiba di depan rumahnya, Vani pun langsung turun dari si Supra, baru saja sikami akan mengeluarkan kata-kata, Vani langsung berujar, “makasih ya BangBil,” ujarnya cepat tanpa sempat melihat sikami. Tanpa mengucap ujaran lain, Vani lansung masuk rumahnya yang tanpa pagar itu. “Sama – sama Van, besok aku jemput ya, kita ke sekolah bareng..” ujar sikami dengan suara agak keras karena Vani sudah masuk ke rumahnya.
Ketidakjelasan sikapnya masih menghantui sikami, sambil di perjalanan pulang, sikami bergumam, pas diajak naik si Supra, dia ga keliatan seneng. Pas di perjalanan, dia jaga jarak kayak ga kenal. pas tiba di rumahnya, dia langsung pergi. Kenapa ya? Ah.. maklum, masih baru, resiko pacaran sama adek kelas, momen malunya banyak, yang penting sikami gak jomblo sekarang.
Esok hari pun tiba, pagi-pagi sekali sudah di depan rumah Vani. Sekolah masih 40 menitan lagi nih, tunggu aja kali ya 17 menit di sini, jangan pencet bel dulu, dia kayaknya lagi dandan biar memukau berangkat hari ini bareng pacar barunya hahahaaa. Bergumam dengan pede dalam hati sambil menyisir rambut di depan spion kanan yang bentukannya beda dengan spion kiri.
17 menit, Vani gak muncul juga saat itu, tiba – tiba ada bapak – bapak paruh baya berkumis lebat warna putih uban menghampiri sikami.
“Lagi ngapain de ?” ucapnya dengan suara berat.
“Assallammuallaikum om, Vani ada om?” jawab sikami dengan suara diberat-beratkan biar keliatan sedikit berwibawa.
“Kamu siapanya ya?” bertanya sambil melirik si Supra.
Di momen ini, sikami kembali bingung. Saat itu, asumsi pikiran sikami menganggap bapak tersebut adalah bapaknya Vani, ada 2 opsi untuk menjawab pertanyaan dari yang diasumsikan sebagai bapaknya saat itu. Opsi pertama, mengaku sebagai kakak kelasnya, tapi kakak kelas macam apa yang menjemput adik kelasnya pagi2, udah gitu lawan jenis lagi. Kalau opsi ini dipilih, selain mengundang keanehan di pikiran Bapak Vani, dari sisi Vaninya pun kalau mengetahui opsi ini yang dipilih pasti nganggep diri sikami cemen karena baru ditanya sama suara berat bapaknya saja sudah takut, apalagi kalau melangkah jauh dalam hubungan ini. Opsi kedua, berani mengaku sebagai pacar Vani ke bapaknya. Sebagai bapak, pasti akan mem – protect anak perempuannya dari laki2 manapun, termasuk sikami, jadi siap2 saja dengan resiko yang ada, tapi kalau Vani tau opsi ini yang dipilih, dia pasti bangga punya pacar kaya sikami.
Akhirnya memutuskan untuk gentle dan memilih opsi kedua.
“Kenalin om, saya Billi, saya pacarnya Vani om.” ucap sikami sedikit pelan karena suara berat yang dibuat mulai luluh.
“Pacarnya?” dengan suara berat, sedikit marah dan penuh tanya.
Mampus, nada-nadanya marah nih si Bapa, kelakar dalam hati melihat ekspresi bapak tersebut.
“Iya om, saya pacar Vani, mungkin Vani belum sempet cerita ke om, nanti pulang sekolah, kalau Vani mau, juga kalau diijinin sama om, saya mau ngobrol – ngobrol sama om dan keluarga he.. he..” sedikit tertawa mencoba mencairkan suasana.
“Gampang itu. Tapi,.. tadi Vani udah pergi sebelum adek datang, dia pergi sama kakak kelasnya pakai mobil. Udah adek ke sekolah aja sana, nanti telat lagi!” ucap bapak paruh baya berkumis lebat warna putih uban tersebut.
“Gitu ya om, yaudah, saya ke sekolah dulu ya om, wassallammualaikum..” Sambil menyalakan si Supra bersama perasaan tanya, “dengan siapa Vani?”
Setibanya di sekolah ketika baru tiba di parkiran, tampak dari kejauhan Bagus mendekat dengan berjalan cepat.
“Bil!” teriak Bagus.
“Apa?? aya naon euy?!!”.
“Sorry nih ya, kok tadi urang liat si Iman berangkat bareng Vani pake mobilnya dia?” ucap Bagus dengan lafal cepat dan terengah-engah karena berjalan cepat.