Ngerenyeh

Chairil Anwar Batubara
Chapter #1

Bagian 1

Rumah kontrakan ini berbentuk persegi panjang dengan enam buah kamar yang sebagiannya menghadap ke timur dan sebagiannya lagi menghadap ke barat. Aku pindah ke kontrakan ini seminggu yang lalu dari kontrakan lamaku di Jl. Batu Kucing dan menempati kamar tengah yang menghadap ke timur. Sekarang aku berdiri di depannya, dan untuk pertama kalinya, aku menyadari kalau halaman kontrakan ini cukup luas, hampir seukuran lapangan bola voly.

Di seberang halaman terdapat sebatang pohon Mangga berdaun rindang, dan di seberangnya lagi, sesudah parit dan jalan setapak yang pecah-pecah itu, berbaris rumah-rumah orang Cina beratap rendah, masing-masing memiliki pagar teralis yang ketinggiannya cukup untuk mengurung anjing-anjing mereka.

Pemilik kontrakan tinggal di ujung gang, tak jauh dari tempat ini. Orangnya sudah lanjut usia dan memakai tongkat. Ketika seminggu yang lalu aku menemuinya, dia bilang; "Di kontrakan itu tak ada aturan tertulis, nak. Kau boleh pulang kapanpun kau mau, boleh membawa teman menginap, tetapi aku harap kau tak mengganggu penghuni lain. Kau sendiri tak suka diganggu, kan?

Aku mengangguk.

"Nah, itu maksudku."

Sebelum aku pergi, mungkin karena aku berbicara dalam bahasa Melayu, dia bertanya apakah aku seorang mahasiswa atau seorang pendatang yang mencari pekerjaan di Tanjungpinang.

"Saya mahasiswa, nek," kataku.

"Hem ...," gumamnya. "Kalau begitu kau cukup bayar setengah harga saja, dik," dia menghitung jumlah uang yang sudah kuberi.

Saat itu juga aku ingin berterima kasih dan mencium-cium tangannya yang keriput, tetapi karena ia segera memasukkan sebagian uang itu ke dalam saku kemejaku, gerakan tanganku jadi terhenti. "Untuk jajan," katanya.

Setelah menerima anak kunci, aku berterima kasih -- tanpa mencium-cium tangannya -- dan kembali ke kontrakan. Barang-barangku datang satu jam kemudian, diantar dengan mobil Pick-up. Menjelang petang, kamar dan perabotan sudah tertata rapi, masing-masing di tempat yang tepat. Aku tinggal menunggu sisa air pel lantai mengering sebelum membentang tikar. Dan, sambil menunggu lantai kering, aku mengunjungi tetanggaku. Bagaimanapun, sebagai penghuni baru aku perlu berkenalan -- setidak-tidaknya menyapa -- tetanggaku, karena tetangga yang baik, kata orang, lebih berharga dari saudara yang jauh. Aku tak ingat siapa yang memberitahuku soal itu, tetapi aku cukup yakin akan kebenarannya

Karena semua pintu tertutup, aku duduk di kursi di bawah pohon. Tempat ini cukup nyaman, teduh, dan pemandangan jalan sempit yang terkesan sepi membuatku cepat merasa betah. Kalau tetanggaku pulang, siapapun itu, aku yakin dia akan mampir juga di kursi ini. Namun sampai bayang-bayang pohon menyatu dengan gelap, sampai aku merasa mengantuk, aku masih tak melihat siapapun melintas. Lampu-lampu di sepanjang jalan gang mulai dinyalakan ketika aku masuk ke kontrakan.

Lihat selengkapnya