Ngerenyeh

Chairil Anwar Batubara
Chapter #6

Bagian 6

Pagi itu aku bangun lebih lama dari biasanya -- pukul delapan kurang. Tetapi karena sekarang hari libur, selain tak ada kegiatan atau janji yang aku harus penuhi, aku tidur lagi dan baru bangun pukul setengah sepuluh dengan kondisi mata yang terasa masih berat. Seluruh persendianku kaku dan nyaris tidak bisa digerakkan. Aku harus bergerak perlahan sebelum akhirnya meregangkan badan lalu bangkit berdiri untuk mematikan lampu dan minun segelas air putih. Aku jadi ingat pesan Ayah. Katanya, begitu bangun tidur, hal pertama yang harus dilakukan adalah meregangkan badan, persis seperti yang dilakukan kucing. "Itu supaya aliran darah kita lancar, Jim," katanya.

Aku tahu itu kebiasaan baik. Namun, aku tak selalu ingat; aku melakukannya kalau ingat saja. Aku melanjutkan tidur setelah meneguk segelas air putih dan buang air kecil. Sebenarnya, aku ingin merokok. Ini kebiasaanku setelah bangun tidur. Tetapi karena khwatir rasa kantuk-ku hilang, aku langsung berbaring dan memejamkan mata. Nyaman sekali rasanya bermalas-malasan di atas tempat tidur pada hari libur.

Aku bangun lagi pukul setengah dua belas dan perutku terasa lapar. Sialnya, aku tak punya apa-apa yang bisa dimakan. Tadi malam, ketika membeli rokok, aku lupa membeli mi dan telor sekalian. Mau tidak mau aku pergi ke warung lagi sesudah mencuci muka dan menggosok gigi.

Matahari siang terasa menyengat sewaktu aku keluar dan aku merasa kalau warung itu jauh sekali. Begitu aku tiba, ini yang menyebalkan, rupanya ia belum buka. Aku kembali ke kontrakan dengan perasaan kesal dan semakin kesal lantaran tempat tidurku masih berantakan.

Di dapur ada sebungkus kopi saset. Aku merebus air, membuat segelas kopi, lalu duduk di bawah pohon mangga sambil merokok dan mendengarkan lagu. Satu pesan baru masuk. Aku membukanya. Itu pesan dari Nuriana. Dia bertanya apakah nanti malam aku bisa datang ke kontrakannya -- dia membuat bubur kacang hijauh.

"Kita lihat nanti," jawabku. "Kalau tidak ada halangan, aku pasti datang sebab kau menginginkan aku datang."

Dia membalas. Katanya, kalau aku tidak bisa datang juga tidak apa-apa.

"Kita lihat nanti," jawabku, mengulangi jawaban sebelumnya.

Dia membalas lagi. Katanya, dia tidak memaksa. Dia hanya menawarkan. "Kalau kau tidak mau datang juga tidak apa-apa."

"Aku pasti datang," jawabku.

"Aku tunggu," balasnya.

Aku tak membalas pesan itu lagi. Aku kembali ke kamar, mengambil novel Orang Asing, lalu kembali ke kursi bawah pohon. Ditemani rokok dan kopi, di bawah bayang-bayang pohon mangga yang rindang, dengan semilir angin yang berembus pelan, membaca buku menjadi kegiatan yang menyenangkan sampai rasa lapar membuat perutku mengeluarkan suara yang terdengar menyedihkan, seperti merintih dalam diam. Aku ingat kalau di ujung gang, tak jauh dari rumah pemilik kontrakan, ada warung kecil. Aku menoleh untuk memastikan jarak -- dan, terutama sekali, aku ingin pastikan apakah warung itu buka atau tidak. Karena tidak kelihatan, aku langsung pergi saja.

"Mau beli apa, Nak?" tanya pemilik warung.

Aku nyaris terperanjat sebab aku tak menyadari kalau perempuan tua itu berdiri di balik bungkus-bungkus makanan ringan dan kerupuk yang digantung di hadapanku. Warung ini kecil dan penuh. Atapnya yang rendah, ditambah pintu masuk yang hanya seukuran satu hasta, membuat setiap sudutnya terlihat gelap. Sewaktu aku berdiri di muka pintu, sisi yang gelap itu langsung menyita perhatianku sehingga aku tak menyadari kalau pemiliknya berada di balik kantong-kantong makanan ringan yang digantung di depanku. Dari balik kantong-kantong itulah dia muncul dengan wajah tuanya yang keriput dan suaranya yang terdengar serak-serak membuatku terperanjat. Aku mengusap-usap dada supaya lebih tenang. Kalau saja dia laki-laki muda, kuat dan tegap, aku pasti sudah meninjunya.

"Mau beli apa, Nak?" tanyanya lagi.

Aku masuk. "Ada mi dan telor, nek?"

"Apa lagi?" tanyanya.

Bukannya mengambil apa yang mau aku beli, dia tetap berdiri dan menatapku penuh selidik. Agaknya dia khawatir kalau aku mengambil barang jualannya. "Itu saja, Nek," kataku.

Lihat selengkapnya