Setelah lulus dari Universitas Indonesia pada Januari 2012, selama delapan belas bulan, aku pergi ke Tiongkok untuk belajar bahasa dan budaya disana sebelum pergi ke Australia untuk melanjutkan pendidikan dan mendapatkan gelar masterku. Meskipun memiliki latar belakang matematika, aku sangat menggemari passion-ku di bidang seni terutama dalam hal desain, fotografi, dan menulis. Sejak masih SMA aku sudah sering mendesain banyak hal, bahkan saat masih kuliah, aku sempat menjalankan bisnis kecil-kecilan dan mendapat pekerjaan di sela-sela waktu kuliahku. Hobiku inilah yang membuatku mendapatkan pekerjaan freelance di bidang jurnalistik semasa berkuliah S2 di Australia. Setelah lulus S2 pun, aku akhirnya mendapatkan pekerjaan tetap sebagai jurnalis disana. Karirku sangat berkembang pesat disana, sehingga sulit menemukan waktu yang pas untuk pulang ke tanah air.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2021. Aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah merantau selama delapan tahun di Australia. Sebenarnya, aku berencana menghabiskan empat tahun lagi setidaknya sampai tahun 2025 sebelum pada akhirnya kembali melanjutkan karir di tanah air. Bekerja disana seperti yang kubilang sebelumnya, sangat nyaman, dan gaji yang kuperoleh juga lumayan. Jika aku bertahan sesuai rencanaku sampai 2025, aku bisa kembali ke Indonesia dan membeli beberapa aset untuk masa pensiunku. Namun pasca pandemi virus corona yang mengerikan ini, banyak sekali bisnis dan pekerja expat sepertiku yang mendapat dampat negatifnya. Aku pun memantapkan niatku untuk menyudahi karir panjangku di luar negeri dan membuka bisnis berbasis seni yang sesuai dengan passion-ku.
Tak terasa, sudah dua tahun aku tidak kembali ke Indonesia. Terakhir kali aku pulang adalah pada tahun 2019 untuk menghadiri pernikahan adik perempuanku, Veronica. Sungguh tak kusangka, kepulanganku ke Indonesia selanjutnya adalah kepulangan yang permanen. Aku memilih untuk menetap di Jakarta dalam merintis bisnisku ini, meskipun keluargaku sudah kembali ke kampung halaman kami di Malang. Menurutku, Jakarta adalah tempat terbaik untuk memulai bisnis ini. Banyak kenalanku semasa berkuliah dulu yang juga memiliki bisnis disini, sehingga aku bisa menggunakan koneksiku untuk mendapatkan banyak klien.
Aku sempat khawatir kesulitan mencari tempat tinggal, tetapi untungnya Veronica masih tinggal di Jakarta bersama suaminya, Jacob. Mereka mengizinkanku untuk menetap dirumahnya sampai aku menemukan apartemen atau kontrakan untuk tempat tinggal baruku. Akhirnya pada akhir bulan Januari 2021, aku berangkat meninggalkan Australia untuk mengadu nasib di negeri sendiri.
Sesampainya di Bandara, aku telah dijemput oleh Veronica dan Jacob. Mereka menyambutku dengan sangat ramah dan lekas membawaku pulang kerumah mereka.
“Kakak berencana mau usaha apa?” tanya Veronica dalam perjalanan dari bandara.
“Bisnis kecil-kecilan aja dulu, sepertinya aku mau coba buka jasa desain dan digital marketing,” jawabku. “Aku kan punya banyak kenalan dan teman yang sudah punya bisnis sendiri sekarang, aku akan coba pake koneksi itu untuk merintis bisnis ini.”
“Tapi kak, kakak kan mempunyai gelar sarjana di bidang matematika dan master di bidang aktuaria. Kenapa kakak gak mencoba mencari kerjaan dibidang itu aja? Bukankah prospeknya lebih menjanjikan? Bahkan banyak universitas yang baru membuat program studi aktuaria baru-baru ini,” sahut adikku dengan bawelnya, ia tidak pernah berubah sejak kami masih kecil.
“Vero, pengalaman kerjaku berasal dari bidang jurnalistik dan setelah bekerja cukup lama di negeri orang, aku sadar kalau lebih nyaman bekerja sesuai dengan passion ketimbang gelar,” jawabku dengan tersenyum kecil.
“Yahh kalau gitu terserah kakak deh, yang penting cepet dapet duit lagi, cepet nikah juga ya,” balas Vero mengejekku . “Gak malu apa, teman-teman kakak udah pada nikah semua. Sering ada undangan nyasar pula ke rumah kita dulu.”
“Iya dek iya,” ucapku sambil tertawa, meskipun aku sedikit tersinggung atas ucapannya itu. Tapi yah mau bagaimana lagi, memang kenyataannya seperti itu. Banyak teman SMA dan teman kuliahku yang sudah menikah. Usiaku juga sudah memasuki kepala tiga tahun kemarin, sepertinya memang sudah saatnya aku memikirkan mengenai pernikahan dalam waktu dekat.
Setelah sampai di rumahnya, Veronica pun sudah menyiapkan kamar untukku. Kamar ini kelak akan menjadi kamar anak mereka, namun saat ini memang mereka masih belum dikaruniai seorang anak, sehingga kamar ini sementara digunakan untuk kamar tamu. Setelah mandi dan merapikan koperku, aku langsung tidur karena lelah setelah perjalanan panjang selama hampir tujuh jam di pesawat.
Dua hari kemudian, aku bertemu dengan sahabat lamaku semasa berkuliah di UI dulu, Gilbert. Kami makan malam bersama sepulangnya ia bekerja dari kantornya di daerah Angke. Kami berjanji untuk bertemu pada pukul tujuh untuk makan bubur favoritku yang kebetulan dekat dengan rumah Gilbert. Perjalanannya cukup singkat karena aku berangkat dari rumah Vero yang ada di Grogol, aku pun dapat menempuh perjalanan ini dengan ojek online. Sesampainya di rumah makan tersebut, Gilbert ternyata sudah tiba di sana sejak lima belas menit yang lalu. Meski sudah beberapa tahun tak bertemu, aku masih bisa mengenalinya dengan baik. Rambutnya selalu tertata rapi dan dengan gayanya yang santai mengenakan kaos dengan luaran kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu, celana jeans berwarna hitam panjang, dan sepatu sneakers kesayangannya.
“Ngapain aja selama ini, masvin? lama banget kita gak ketemu,” tanya Gilbert dengan memanggilku masvin seperti masa kuliah dulu.
Aku menceritakan mengenai pengalamanku selama bekerja di Australia, dimana aku tinggal sekarang, dan rencanaku setelah kembali ke tanah air. Ditengah-tengah aku bercerita, makan malam kami pun tiba. Aku sudah cukup lapar dan rindu dengan bubur favoritku yang tidak kutemukan selama di Australia, aku pun langsung menyantapnya setelah selama dua hari aku hanya makan masakan Veronica.
“Wah, sebenernya adik lu gak salah sih. Profesi aktuaris kan lagi lumayan kepake banget sekarang, Vin. Tapi ya gua paham soal passion dan pengalaman lu yang udah menjadi latar belakang lu sekarang,” komentar Gilbert setelah mendengar pengalamanku. “Terus lu mau cari tempat tinggal baru, rumah yang di Cakung dikemanain?”
“Udah dijual dong Bert, lagian itu rumah orang tua gua. Mereka sekarang tinggal di Malang. Makanya dari kemarin gua numpang dulu dirumah adik gua,” jawabku sambil menyantap makananku dengan lahap.
“Terus kan lu kerja di Ausie pasti gajinya gede dong. Kenapa lu malah nyari kontrakan atau apartemen?” tanya Gilbert. “Harusnya kan dengan tabungan lu sekarang, lu bisa aja beli rumah dong. Yah minimal daerah sini lah, naiknya belum seberapa.”
“Iya, tapi uangnya gua simpen di deposito. Ya lumayan lah buat biaya hidup sehari-hari dan nabung juga. Sekarang kan gua belum ada kerjaan, ngirit-ngirit dulu lah,” kataku. “Saat ini bisa gak sih dapet satu unit di apartemen yang full furnished, satu bedroom dengan budget sekitar dua juta sebulan?”
“Waduh kalau daerah jakarta gini mah susah, Vin. Dapet kos-kosan aja belum tentu ber-AC itu. Kalau apartemen, deket UI aja udah gadapet lagi segitu. Paling kalau ada juga kamar studio itu, Vin,” jawab Gilbert dengan nada percaya diri. “Paling kalau mau dengan budget segitu, sewalah yang dua bedroom terus patungan deh. Bisa tuh, Vin. Tapi, kudu hidup bersama.”
“Hmm siapa yang mau tinggal sama gua ya. Kalau waktu kuliah dulu bisa aja cari temen kosan, ini kita udah umur 30-31 bro,” kataku sambil tertawa.
Kami mulai mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain. Gilbert membahas banyak hal, kami mengenang masa lalu kami semasa menjadi mahasiswa, kemudian Gilbert meceritakan soal pekerjaannya saat ini sebagai konsultan bisnis dan dampak dari wabah corona ke bisnis di Indonesia tahun kemarin. Lalu kami pun teringat mengenai salah satu sahabat kami, Nickson Bastian Oliver.
“Nah, Vin. Lu masih ingat ga sama si Nick?” tanya Gilbert mengenai sahabat kami itu. “Meskipun gua gatau banyak juga soal kabar dia, tapi kemarin dia sempet cerita ke gua kalau dia agak keberatan bayar sewa unit di apartemen dia sekarang.”
“Wah, gimana kabar dia sekarang? Gua bener-bener gapernah kontakan lagi sama dia. Tapi kalau dia mau sewa unit bareng gua yah boleh juga sih. Toh kita kan dulu juga akrab, gua sering nginep di kosan dia,” ucapku.
Ekspresi Gilbert berubah dalam sekejap, ini jelas bukan pertanda baik sebab dulu Gilbert dan Nick merupakan teman satu kosan yang kamarnya bersebelahan. Mereka sangat akrab dalam mengenal satu sama lain, lebih baik dariku dalam mengenal mereka. “Vin, lu gatau apa-apa soal si Nick ya?” tanya Gilbert sambil menuangkan air ke gelasnya. “Gua tadi niatnya cuma bercanda aja, kirain elu udah tau. Gua gak menyarankan lu sih, tapi ya kalau emang lu butuh dan dia butuh yah gas aja.”
“Emang kenapa dia?” tanyaku.
“Dia udah beda banget sama Nick yang kita kenal dulu, Vin. Sekarang dia ngerokok, lima tahun lalu dia pernah make narkoba juga, udah tobat sih tapi waktu itu ekstrim banget.”
“Waduh ngeri juga ya, kok bisa?” tanyaku cukup terkejut. “Padahal dulu kan dia alim banget.”
“Yah, dia bosen sama dunia IT kali. Nyoba-nyoba, eh ketagihan.”
“Lu masih kontakan sama dia, Bert?”
“Masih, mungkin cuma gua ya satu-satunya teman yang masih kontakan sama dia. Sebenernya mah gua mo bantu dia, tapi dia tertutup banget sama gua, Vin. Dia gak pernah mau cerita soal permasalahan atau apapun yang dia lagi kerjain.”
“Dia kerja apa sekarang?”
“Nah, itu. Gua bahkan gatau dia kerja apa, dia gapernah mau ngomongin pekerjaannya. Tapi ya, entah ada aja duitnya.”