Nick Oliver and the Soul of Terror

Mario Ekaputta
Chapter #2

Kebenaran tentang Nick Oliver

Setelah memindahkan barang-barangku ke tempat Nick, aku berpamitan kemudian mengucapkan terima kasih kepada Veronica dan Jacob. Nick menyambutku dengan cukup baik, ia sudah membersihkan kamarku dan men-service AC yang sudah setahun lebih tak dinyalakan sebelum kepindahanku kesana. Nick juga sudah membereskan fasilitas yang akan kita gunakan bersama seperti menyediakan tempat di kamar mandi untuk peralatan mandiku, menyediakan ruang di kulkas untukku mengisi cemilan atau minuman, dan memindahkan beberapa barang pribadinya yang sebelumnya ada di ruang tengah ke dalam kamarnya. Nick ternyata tidak secuek yang kubayangkan. Meskipun memang tak banyak berbicara, tetapi ia masih merupakan pribadi yang ringan tangan. Nick menawarkan diri untuk membantu membereskan barang-barangku, lalu malam itu kami sibuk membereskan dan menata barang-barangku.

          Tinggal beberapa lama dengannya membuat aku mulai menyadari bahwa Nick memiliki gaya hidup yang unik untuk pria berusia tiga puluh tahun pada umumnya. Ia biasanya membaca buku sampai cukup larut, bahkan terkadang ia tidur pukul dua, tetapi entah bagaimana ia sudah bangun pada pagi harinya paling telat pukul enam kemudian bermeditasi di ruang tengah selama 15-30 menit setiap harinya. Setelah bermeditasi, ia biasanya pergi berolahraga seperti gym atau berenang. Tak heran badannya sudah lumayan berbentuk sekarang, meskipun tidak kekar atau berotot. Ketika aku bangun, biasanya ia sudah selesai berolahraga dan sedang membuat sarapan sambil mendengarkan podcast.

Sayangnya rutinitas berolahraganya tidak selaras dengan kebiasaannya yang lain, sehingga aku tidak bisa menyebutnya sebagai pola hidup yang sehat. Dia selalu merokok setiap hari, jam tidurnya tidak jelas, dan pola makannya juga kurang bagus. Selain sarapan, waktu makannya sangat tidak teratur. Kadang ia makan siang pukul satu atau bahkan pukul empat. Begitu pula makan malam, ia bisa makan pukul tujuh atau bisa juga ia makan menjelang tengah malam. Aku pun selalu bertanya-tanya, apa tujuannya berolahraga jika bukan untuk menjaga kesehatan?

Pada jam kerja sehari-harinya, biasanya ia hanya di unit saja dan tidak kemana-mana. Ia bisa menghabiskan waktu dari pagi sampai sore hanya duduk di meja dengan laptopnya sambil merokok, minum kopi, dan mendengarkan musik melalui earphone-nya. Nick hanya berhenti untuk makan siang dan terkadang ia beristirahat tidur siang selama satu jam. Anehnya, ia sering pergi keluar pada jam-jam yang tidak menentu dan terkadang aku tidak tahu kapan dia kembali.

Meskipun berbagi unit dengannya, kami tak banyak berbicara dan bertukar cerita selama beberapa minggu pertama. Kami membeli makanan sendiri, mengurus laundry sendiri, dan belanja sendiri. Ia hanya sering menawariku roti panggang yang ia buat setiap paginya untuk sarapan. Aku juga mempunyai penyakit maag, sehingga aku tidak bisa mengikuti waktu makannya. Inilah yang membuat kami tidak pernah makan bersama sampai saat itu.

Aku pun lebih sering menghabiskan waktuku di kamar terutama jika Nick sedang merokok di ruang tengah. Aku tidak benci asap rokok, tapi sebisa mungkin aku tidak ingin menghirupnya. Terkadang aku tidak terlalu memperdulikan lagi apa yang ia lakukan karena aku sendiri sibuk merintis bisnisku setelah dan belum lama ini aku mendapat sejumlah pekerjaan editing dan desain dari rekan-rekan lamaku. Bayarannya memang tidak terlalu besar, tetapi lumayanlah untuk mengisi waktu luang di sela-sela usahaku merintis bisnis baru ini. Sehari-hari pun kami bekerja didepan laptop kami dalam keheningan masing-masing.

Sekitar dua minggu berlalu, aku masih tidak tahu apa-apa tentang sahabatku ini. Jujur, aku sangat penasaran dengan sifat baru dan pekerjaan Nick Oliver. Aku hampir tak pernah masuk ke kamarnya. Ia selalu menguncinya jika ada didalam maupun diluar atau ketika sedang pergi. Ia juga tidak pernah mengangkat telepon didepanku. Biasanya jika ada telepon dan aku sedang duduk diruang tengah, ia akan mengangkat telepon di dalam kamarnya dan tidak keluar selama hampir satu jam. Ia membuatku agak terusik, karena merangsang rasa ingin tahuku dan aku terus menahan rasa keingintahuanku ini.

Jika pembaca membaca sampai sini, kalian pasti menilaiku sebagai orang yang sangat kepo. Tetapi sebenarnya, aku adalah orang yang sangat sabar dan menghargai Nick dengan segala privasinya. Mengingat bahwa Nick adalah sahabat lamaku dan seberapa dekat kami sepuluh tahun yang lalu, sungguh aneh terbuai dalam ketidaktahuan terhadap kawan lama yang kini berbagi unit denganku.

Saking penasarannya, aku mencari semua media sosial Nick. Hasilnya? Nihil. Nick benar-benar tidak bermain media sosial untuk membangun personal branding atau kesenangan bagi dirinya sendiri. Padahal dulu saat kami kuliah Nick sangat senang bermain media sosial seperti facebook atau twitter, bayangkan betapa penasarannya aku saat itu. Apa sebenarnya yang terjadi pada sahabatku ini? Aku bahkan berteori bahwa Nick yang kukenal sudah mati dan kini aku melihat duplikatnya yang memiliki kepribadian berbeda.

Satu-satunya hal yang tidak berubah dari Nick adalah kendaraannya. Ia masih mengendarai motor matic putih kesayangannya keluaran 2007 yang ia pakai sejak SMA dan di masa kuliah. Ia juga masih menyimpan gitar yang dulu sering dimainkan di kamar kosnya saat kami kuliah, meskipun aku tidak pernah mendengarnya memainkannya.

Oh ya, kebiasaan Nick yang kusebutkan sebelumnya berlaku setiap hari selama seminggu. Bahkan pada akhir pekan dimana orang biasanya pergi mencari hiburan atau beribadah, ia hanya menghabiskan akhir pekannya dengan rutinitas yang sama. Padahal, apartemen kami terletak sangat strategis dan dekat dengan beberapa mall besar di kota Jakarta ini. Satu-satunya hiburan bagi Nick ada di buku dan laptopnya, entah apa yang ia baca dan kerjakan setiap harinya. Suatu ketika aku mencoba mengajaknya keluar di akhir pekan.

“Enggak vin, lu aja,” ucap Nick secara acuh tak acuh.

“Elu setiap weekend cuma gini-gini aja apa?” tanyaku dengan nada agak kesal.

“Iya,” jawabnya, “Gua bukan tipe orang yang suka jalan-jalan untuk hiburan. Ketika kita mau melakukan sesuatu, kita harus tau apa tujuan kita melakukan hal tersebut dan tentunya mempunyai niat yang kuat. Gua gamau menghabiskan duit gua untuk sebuah rutinitas yang hanya sekedar kesenangan belaka.”

“Tapi, ini kan weekend!” protesku.

“Yah, bagi gua dari senin sampai minggu tuh sama aja, Vin. Lu tetap butuh makan, minum, dan mandi setiap harinya.”

“Emang lu kalau keluar tuh biasanya ngapain dan kemana?”

“Kalau ada kerjaan dan gua harus keluar ya gua keluar. Diluar itu gua gak terlalu tertarik sama dunia luar.”

 “Terus lu mau ngapain cuma disini doang?”

 “Saat ini, gua lagi sibuk ama kerjaan dan harus dilakukannya disini. Mungkin next time deh kalau gua sempet dan emang gak ngapa-ngapain, gua ikut,” jawab Nick. “Oh ya, kalau lu mau pake motor gua, pake aja ya. Kuncinya ada diatas rak buku tuh.”

Aku tidak bisa berkata-kata lagi setelah dia mengatakan hal tersebut. Sekali lagi aku bisa saja memanfaatkan momen itu untuk langsung menanyakan mengenai pekerjaannya, tetapi aku khawatir ia tersinggung setelah aku banyak bertanya tadi. Aku tak ingin menghiraukannya dan biasanya aku memilih untuk pergi sendiri di akhir pekan. Tak jarang aku pergi kerumah Gilbert dan menceritkan keanehan Nick padanya.

Kira-kira seminggu kemudian, kesabaranku sepertinya terbayar lunas. Aku masih ingat sekali, saat itu hari Jumat, 26 Maret 2021. Sekitar pukul delapan malam, aku baru saja pulang setelah makan malam dengan Albert yang memperkenalkanku dengan klien pertamaku. Sesampainya di unit kami, Aku langsung menaruh jaketku dan menuang segelas air. Nick sedang merokok di ruang tengah sambil membaca buku. “Udah dapet klien vin?” tanya Nick sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

“Ya, Albert tadi kenalin gua sama salah satu pengusaha toko roti. Gua bakal coba ngedesain beberapa poster promosi,” jawabku lalu meneguk air yang baru saja kutuang.

“Oh, toko roti lagi. Kaya pas kuliah dulu ya?”

“Iya, tapi ini banyak demandnya. Toko ini cabangnya udah ada beberapa, jadi bayarannya juga lumayan.”

“Bukannya lu butuh tim buat ngerjain itu?”

“Ya, tapi saat itu kan gua sambil kuliah dan gua sering ngambil job foto-foto event gitu. Sekarang gua bisa dibilang pengangguran bro, jadi ya gua bisa kerjain semua sendiri.”

“Bagus, lu gak perlu ngejar-ngejar deadline lagi ya,” ucap Nick, lalu ia kembali membaca bukunya.

Di momen ini, aku tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan untuk memuaskan rasa penasaranku. Aku mencoba bertanya kepadanya seperti basa-basi dan seolah sudah tau tentang pekerjaannya. Jika aku salah, kurasa ia bisa memaklumiku dan aku sudah mempersiapkan ucapan maafku. “Terus gimana Nick dengan klien-klien lu?” tanyaku.

Well, akhir-akhir ini gua belum ada klien lagi,” jawab Nick.

“Oh ya? Bisnis lu lagi sulit ya.”

“Ya, gua baru aja nyelsaiin beberapa kasus akhir-akhir ini. Semuanya membosankan.”

Lihat selengkapnya