Nick Oliver and the Soul of Terror

Mario Ekaputta
Chapter #5

Pengakuan Hanna Simangunsong

Ketika mengetahui bahwa istri pak Burhan tidak datang, kami langsung bergegas untuk pulang, tak terasa kami sudah menghabiskan hampir seperempat hari kami di sana. Nick sudah mendapatkan nomor dari istri pak Burhan, ia akan membuat janji tersendiri dengannya.

Sepanjang perjalanan, Nick hanya menyetir motornya tanpa berkata sedikitpun padaku. Terlihat bahwa pikirannya tak hanya berfokus pada jalan, tetapi juga pada kasus ini. Kepadatan kota jakarta membuat kami terhenti cukup lama di lampu merah dekat Mall Emporium.

“Sial, Vin,” kata Nick di sela-sela kemacetan. “Dalang dibalik semua ini memiliki set yang sangat rapi.”

“Ya, semuanya kelihatan sangat rapi seolah ini memang perbuatan setan,” jawabku meskipun sebenarnya aku tak tahu apa isi pikiran Nick.

“Nah, ini pertama kali lu gua ajak ngeliat kasus gua. Gimana menurut lu? Apakah menurut lu ada kejanggalan dari semua data yang kita punya, Vin?”

“Sejauh ini gak ada, kecuali istri dari pak Burhan yang tiba-tiba memutuskan untuk tidak pulang ke rumahnya dan fakta bahwa usia pernikahan mereka berbeda 26 tahun. Apakah lu gak curiga kesana?”

“Sudah gua duga lu bakal mikir kesitu vin,” kata Nick. “Selama kita belum ketemu sama orangnya, kita gak bisa menarik kesimpulan dulu kesana.”

Lampu merah telah berubah menjadi hijau, kamipun melanjutkan perjalanan kami ke apartemen kami. Ditengah perjalanan, aku meminta Nick berhenti sebentar agar aku bisa membeli sate ayam di pinggir jalan untuk makan malam kami.

Sesampainya di unit, aku langsung pergi mandi sebelum menyantap makan malamku. Sementara Nick langsung membuka laptop, buku catatan, dan mendengarkan semua rekaman di ponselnya sambil merokok di ruang tengah. Sampai aku selesai mandi dan makan malam pun, Nick masih belum beranjak sedikitpun dari tempat duduknya.

“Udah ada kabar dari bu Hanna?” tanyaku.

“Udah, kita ketemu sama dia besok, jam tujuh, di daerah Kebon Jeruk.” Jawab Nick yang masih terus memperhatikan catatannya.

“Tujuh pagi?”

“Ya, dia mau ke gereja jam delapan. Lu bisa ikut gak?”

“Lu mau gua ikut lagi?”

“Ya, kalau lu gak keberatan.”

“Boleh. Tapi kalau gua bangun ya, Nick.”

“Oke, gua harus nelpon pak Burhan sekarang untuk menggali beberapa informasi lagi. Lu boleh masuk kamar gak, Vin? Ini menyangkut privasi dia yang harus gua catat,” Nick menyuruhku masuk dengan sopan.

Ku turuti permintaannya, dan aku langsung masuk ke kamar. Tanpa sadar, aku sangat tertarik dengan kelanjutan kasus ini dan tak sabar untuk menemaninya besok. Disaat yang bersamaan, aku sudah mendapat brief dari klienku, akhirnya aku bisa mulai untuk mendesain poster promosi. Kucari foto-foto roti terbaik yang dikirimkan klienku, kemudian kucoba untuk mencocokannya dengan latar belakang poster yang kupilih. Sekitar jam sebelas, aku berencana untuk tidur agar besok pagi bisa bangun dan menemani Nick. Aku pergi ke toilet untuk mencuci muka dan menggosok gigiku. Ketika aku selesai, Nick masih saja berada diruang tengah dalam kondisi belum makan dan mandi.

“Udah mau tidur, Vin?” tanyanya tanpa melihat ke arahku.

“Iya, biar besok bisa bangun pagi nih,” jawabku. “Lu gak mandi atau ganti baju kah?”

“Belum.”

“Makan juga enggak?”

“Belum juga, Vin. Ketika lu sedang melaju dengan motor, kecepatan lu akan bertambah seiring dengan percepatannya, tetapi jika lu berhenti sejenak maka percepatannya akan hilang. Sama halnya dengan ketika gua lagi nyelidikin kasus ini, gua gaboleh berhenti sekarang.”

“Dasar mesin lu ya,” ucapku. “Lu udah ada progress?

“Belum terlalu signifikan, Vin,” jawab Nick. “Tidurlah, Vin. Hari ini kita udah keluar lama, makasih ya udah nemenin gua.”

Keesokan harinya ketika aku bangun, kulihat Nick terlihat sudah rapi dan siap untuk berangkat menemui ibu Hanna Simangunsong. Kurasa dia tak berhenti semalaman untuk terus meriset kasus ini. Sate yang semalam ku pesan untuk makan malamnya pun juga masih utuh dan tak disentuh sedikitpun. Aku pun langsung bersiap, dan kami bergegas untuk berangkat bersama. Pagi itu cuacanya sangat cerah, sehingga kami bisa menyusuri sejuknya embun pagi di hari minggu. Perjalanan ke Kebon Jeruk dari tempat kami hanya memakan waktu selama sepuluh menit, lalu lintas pagi itu sangat lancar.

Kami bertemu di salah satu kedai bakmi di dekat Gereja HKBP Kebon Jeruk, tempat bu Hanna akan beribadah. Kami tiba di sana pukul tujuh tepat, dan kami tiba lebih awal. Sambil menunggu bu Hanna, aku memesan semangkuk bakmi untuk sarapanku, sementara Nick belum ingin makan dan sedang mempersiapkan list pertanyaan di buku catatannya. Barulah sekitar dua puluh menit kemudian, bertepatan denganku selesai menghabiskan bakmi, sosok yang kami tunggu tiba.

Bu Hanna mendekati meja kami dengan tergesa-gesa dengan raut wajah kekhawatiran. Meski begitu, ia tetap memancarkan kecantikannya dengan make up minimalis, rambut yang dikuncir rapi, dan pakaian adat bataknya yang akan ia kenakan ke gereja. Dari penampilannya, ia bisa saja memikat banyak pria. Menurutku, sangat tidak cocok jika sosok semanis Bu Hanna ini harus menikah dengan pak Burhan yang sudah tua dan bertampang galak itu. Ia menyalami kami, dan kemudian duduk dengan sopan di seberang kami.

“Maafkan keterlambatan saya, Pak Nickson,” ucapnya dengan sangat ramah. “Saya tadi agak terlambat berangkatnya karena menunggu kedua orang tua saya. Saya juga harus mengantarkan dan meminta mereka untuk menunggu di gereja.”

“Tidak masalah, Bu Hanna,” sahut Nick. “Kami juga tidak terlalu lama menunggunya kok.”

“Saya sudah membaca sekilas tentang Anda, Pak Nickson. Bukannya saya meragukan kemampuan Anda, tetapi saya sangat khawatir dengan suami saya saat ini.”

“Tenang, Bu Hanna,” ujar Nick meyakinkan. “Saya berjanji kalau ia akan baik-baik saja. Mengisolasi dirinya adalah langkah terbaik kita sejauh ini.”

“Baiklah, Pak Nickson. Sekarang, bisakah kita mulai? Saya harus beribadah sebentar lagi,” ucap Bu Hanna.

Seperti biasa, Nick segera membuka buku catatan, dan menyalakan rekaman pada ponselnya. “Oke, Bu Hanna. Mari kita mulai ya,” ucap Nick sambil menekan tombol start recording pada ponselnya, sementara Bu Hanna meresponnya dengan menganggukan kepalanya.

“Izinkan saya bertanya beberapa pertanyaan yang mungkin sifatnya agak personal,” ucap Nick meminta izin. “Bagaimana Anda bisa bertemu pak Burhan Nasution hingga menikah dengannya?”

Lihat selengkapnya